Jakarta, 1 Oktober 2021 – Rencana amnesti pajak dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) dinilai akan memberikan citra buruk terhadap pemerintah di mata wajib pajak. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, mengatakan wajib pajak akan menganggap pemerintah tidak serius dan tidak memiliki peta jalan perpajakan. “Jarak antara amnesti pajak I dan II relatif dekat, sehingga proses hukum pajak yang akan berjalan menjadi tertunda,” kata dia, kemarin.
Pembahasan RUU HPP, yang awalnya bernama RUU Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP), cenderung singkat. RUU KUP mulai dibahas oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada Mei lalu. Pada awal Oktober ini, RUU HPP akan disahkan.
Menurut Misbah, apabila pemerintah berargumen pemberian kembali amnesti pajak untuk meningkatkan penerimaan negara, langkah yang lebih tepat adalah memanfaatkan data Automatic Exchange of Information (AEOI). Skema AEOI, kata dia, bisa mendongkrak pendapatan negara. Misbah mengatakan pemerintah terkesan menyelamatkan pengemplang pajak.
Dia pun mempertanyakan tindak lanjut pelapor ataupun wajib pajak luar negeri yang belum dipublikasi. Selain itu, Fitra berpendapat seharusnya ada peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak setelah amnesti jilid I. Sebab, untuk mendapat pengampunan, wajib pajak kudu membayar sejumlah uang tebusan. Dengan begitu, kata Misbah, di kemudian hari akan ada kepatuhan. “Pemerintah seharusnya mulai mengumumkan para pengemplang pajak ke publik, sehingga ada keadilan bagi wajib pajak yang patuh”, kata dia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai amnesti jilid II merupakan sebuah kesalahan fatal yang diakomodasi dalam RUU HPP. Pasalnya, kata dia, pemerintah justru memberikan ruang bagi wajib pajak yang belum ikut dalam amnesti pajak 2016. Dia khawatir pengampunan pajak akan berlanjut pada periode berikutnya. “Tax amnesty menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk terus menghindari pajak,” kata dia.
Selain itu, kata Bhima, RUU HPP tidak menjelaskan mekanisme screening harta para wajib pajak yang ikut tax amnesty, misalnya melalui penugasan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama tidak ada screening dan pengawasan, kata dia, bisa saja harta yang dilaporkan adalah harta hasil pencucian uang, hasil kejahatan, atau aset hasil penghindaran pajak lintas negara.
Menurut Bhima, pengemplang pajak dan orang yang menyembunyikan harta akan terselamatkan karena data mereka tidak bisa dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana perpajakan. Pengemplang pajak pun memanfaatkan tax amnesty karena biaya pengampunannya masih relatif murah dibanding sanksi 200 persen. “Amnesti pajak hanya membantu dalam satu tahun fiskal, sangat temporer. Faktor ini lantaran follow up terhadap data pajak tidak dilakukan secara serius,” kata Bhima.
Ekonom dan peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai insentif pajak yang sudah dilakukan pemerintah sebetulnya juga bisa membantu proses pemulihan ekonomi. Jika ingin mendorong pemasukan, pemerintah bisa menaikkan tarif tertinggi dari pajak penghasilan (PPh) atau menjalankan program multitarif pada pajak pertambahan nilai (PPN) yang saat ini juga dimasukkan pemerintah dalam RUU HPP. “Belajar dari pengalaman amnesti pajak jilid I, belum ada pengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak, terutama jika dilihat dari tax ratio (rasio pajak),” tutur Yusuf.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap RUU HPP bisa meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Dia juga menyebutkan RUU ini merupakan bagian dari reformasi struktural bidang perpajakan. “Baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan, dan akan menjadi batu pijakan yang penting bagi proses reformasi selanjutnya, katanya.
Sumber: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/468385/terancam-citra-buruk-amnesti-pajak