Jakarta, 22 Oktober 2019
Misbah Hasan
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Memasuki tahun ketiga masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, polemik soal keterbukaan informasi anggaran Pemerintah Provinsi DKI seharusnya tidak perlu terjadi. Kenyataannya, masyarakat menganggap ada kemunduran signifikan atas prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan daerah yang transparan, partisipatif, akuntabel, dan responsif di DKI, khususnya dalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini ditandai dengan keengganan pemerintah DKI mengunggah Rancangan Kebijakan Umum Perubahan Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUPA-PPAS) 2020 di situs web resmi mereka.
Dalam perspektif hak, asas keterbukaan informasi atau transparansi merupakan prasyarat utama akuntabilitas pemerintah kepada warganya atau sering disebut sebagai “akuntabilitas sosial”. Transparansi berkonsekuensi terhadap pemenuhan hak atas informasi bagi masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk tahu apa yang akan, sedang, dan telah dikerjakan pemerintah, baik pada tahap perencanaan pembangunan, proses penganggaran, maupun implementasi dan pertanggungjawaban anggaran. Untuk itu, pemerintah DKI wajib menyediakan media yang mempermudah masyarakat memperoleh informasi yang dibutuhkan, seperti melalui situs web, baliho, poster, infografis anggaran, papan pengumuman, atau media informasi lainnya.
Informasi anggaran yang didapatkan warga DKI diharapkan mampu mendorong terjadinya diskursus di tingkatan masyarakat (public discourse) dan meningkatkan jumlah warga DKI yang mau terlibat dan berpartisipasi dalam seluruh proses perencanaan, penganggaran, dan tahapan pembangunan berikutnya. Konsep partisipasi dalam perspektif hak melahirkan hak masyarakat untuk diundang dan terlibat dalam pembangunan (right to involve), khususnya bagi kelompok perempuan, lanjut usia, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.
Selain mendorong secara kuantitas jumlah warga DKI yang mau terlibat dalam proses pembangunan, dengan menguasai informasi, misalnya ihwal KUA-PPAS yang sedang dibahas antara Tim Anggaran Pemerintah Provinsi DKI (TAPD) dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI, masyarakat dapat memantau apakah usulan-usulan yang disuarakan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan telah tertuang dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) masih terakomodasi dalam KUA-PPAS tersebut atau tidak.
Dengan adanya transparansi dan partisipasi masyarakat, pemerintah DKI diharapkan lebih akuntabel dalam menyusun dan mengelola anggarannya. Artinya, program, kegiatan, dan anggaran yang telah direncanakan dapat dilaksanakan secara optimal, berkinerja baik (dapat diukur masukan, keluaran, hasil, penerima manfaat, dan dampaknya), serta dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada DPRD DKI, presiden melalui Menteri Dalam Negeri, maupun kepada warga DKI sebagai “subyek” dan penerima manfaat utama anggaran DKI. Dalam konteks hak, prinsip akuntabilitas ini melahirkan hak masyarakat untuk melakukan klaim (right to claim) atas kinerja Pemerintah Provinsi DKI.
Ketiga prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di atas, bila dijalankan dengan benar, akan mampu memberi manfaat yang besar (responsiveness), tidak hanya bagi perbaikan tata kelola perencanaan dan pengangguran DKI, tapi juga untuk peningkatan kesejahteraan warga DKI, terutama bagi rakyat miskin, perempuan, penyandang disabilitas, orang lanjut usia, anak, dan kelompok rentan lainnya. Ini terjadi bila Pemerintah Provinsi DKI lebih responsif terhadap kebutuhan yang berbeda di antara kelompok warga tersebut. Di sinilah apa yang dimaksud dengan prinsip efisiensi dan efektivitas anggaran telah dijalankan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk mengakhiri polemik tata kelola anggaran yang terjadi di DKI saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu menerapkan konsep akuntabilitas sosial yang dimaknai sebagai tindakan dan mekanisme yang diinisiasi oleh warga dan/atau organisasi masyarakat sipil untuk menjamin pemerintah atau pemerintah daerah, politikus, dan penyelenggara pelayanan publik bertanggung jawab atas tindakan dan kinerja dalam menyelenggarakan pelayanan, meningkatkan kesejahteraan, dan melindungi hak-hak rakyat (ANSA-EAP, 2010). Prasyarat akuntabilitas sosial tersebut adalah adanya transparansi pemerintah daerah dan mendorong lahirnya masyarakat yang aktif (active citizen), khususnya di DKI Jakarta.
Sumber: https://kolom.tempo.co/read/1262630/transparansi-anggaran-pemerintah-dki/full&view=ok