Jakarta, 13 Mei 2020
Merebaknya Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia perlu ditanggapi pemerintah dengan segera merevisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Meskipun dokumen itu ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2020.
Dokumen itu menggambarkan optimisme yang begitu kentara. Visi yang dikembangkan pemerintahan Jokowi periode kedua ini adalah “mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Visi ini ditopang oleh sembilan misi yang lebih dikenal sebagai “Nawacita Kedua”.
Tidak ada yang salah dengan optimisme itu. Apalagi visi dan misi tersebut seolah olah dijadikan fondasi bagi visi besar Indonesia 2045, yakni “Indonesia Maju”. Seluruh indikator pencapaian pembangunan 2015-2019 memenuhi syarat untuk optimistis. Namun merebaknya pandemi Covid-19 membuyarkan “mimpi indah” dan cita-cita besar tersebut. Pemerintah, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan kementerian/lembaga lainnya, perlu sedikit mengerem rasa optimisme itu dan segera mengambil langkah cepat untuk merevisi RPJMN yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Pertama adalah merevisi kerangka ekonomi makro. RPJMN menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi diproyeksikan pada kisaran 5,7 hingga 6,0 persen per tahun melalui peningkatan produktivitas ekonomi, investasi yang berkelanjutan, perbaikan pasar tenaga kerja, dan peningkatan k ualitas sumber daya manusia. Dengan target pertumbuhan ekonomi tersebut, pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita (Atlas Method) diharapkan meningkat menjadi US$ 5.810- 6.000 per kapita pada 2024. Saat ini, keempat indikator pertumbuhan ekonomi tersebut terhambat oleh wabah Covid-19.
Kondisi di atas diperparah oleh banyaknya daerah yang telah mendapat persetujuan Kementerian Kesehatan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Makassar, dan menyusul provinsi- provinsi lainnya. Otomatis, produktivitas ekonomi menurun signifikan, investor berhitung ulang untuk menggelontorkan dana investasinya, bahkan banyak yang mulai gulung tikar dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Sementara itu, dunia pendidikan kita, sebagai lokomotif peningkatan sumber daya manusia, belum siap menggunakan teknologi sebagai media belajar siswa. Koreksi kedua atas optimisme RPJMN adalah pada penetapan proyek prioritas strategis nasional. Pemerintah merencanakan 41 proyek yang rencananya dilaksanakan sepanjang 2020-2024 dengan estimasi anggaran mencapai Rp 6.293,1 triliun, setara dengan tiga tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sayangnya, semua proyek itu lebih banyak didominasi infrastruktur. Sangat sedikit yang berorientasi kesehatan. Wabah Covid-19 menunjukkan bahwa sektor kesehatan kita paling kedodoran. Banyak tenaga medis yang menggunakan alat pelindung diri (APD) tidak berstandar saat menangani pasien corona, kebutuhan ruang perawatan pasien semakin mendesak, dan seterusnya. Pemerintah dapat belajar kepada negara lain untuk memprioritaskan anggaran kesehatan yang lebih besar. Tidak cukup hanya 5 persen dari belanja negara. Peningkatan anggaran kesehatan dapat diprioritaskan untuk meningkatkan sumber daya manusia kesehatan, riset-riset kesehatan, terutama tentang Covid-19 dan penanganannya, serta meningkatkan sarana- prasarana kesehatan berbasis teknologi dan derajat kesehatan masyarakat.
Kelemahan RPJMN yang patut dikoreksi berikutnya adalah konsep ketahanan pangan. Saat pandemi semacam ini, sektor panganlah yang seharusnya paling diandalkan oleh pemerintah untuk menopang perekonomian nasional. Namun hal ini belum terjadi. Sebenarnya, pemerintah telah berkomitmen memasukkan agenda penguatan ekonomi melalui pertumbuhan yang berk ualitas dan berkeadilan, dan ini termasuk satu dari tujuh agenda prioritas pembangunan Jokowi-Ma’ruf Amin. Namun, bila dilihat dari dukungan pemerintah untuk sektor ketahanan pangan, yakni pertanian, kelautan, perikanan, dan kehutanan, anggarannya hanya Rp 30,48 triliun atau 1,6 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Usul revisi keempat menyangkut peningkatan ketahanan bencana. Dalam RPJMN, definisi dan jenis bencana yang dikemukakan masih sebatas bencana alam, baik bencana hidrometeorologi, seperti puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, banjir, gelombang pasang/abrasi, maupun bencana geologi, seperti gempa bumi, letusan gunung api, dan tsunami. Belum ada sama sekali yang menyinggung bencana non-alam, seperti pandemi Covid-19, dan penanganannya, sehingga dalam postur anggarannya pun tidak dialokasikan. Untuk itu, penting kiranya pemerintah, melalui Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Per encana Pembangunan Nasional selaku leading sector bidang perencanaan, mengagendakan perubahan mendasar RPJMN 2020-
2024 sebagai respons dan adaptasi terhadap dampak pandemi Covid-19 yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Momentum untuk merevisinya
sudah tepat saat ini setelah pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional pada akhir April lalu. Masukan dari gubernur, bupati, wall kota,
organisasi masyarakat sipil, dan media dalam musyawarah itu menjadi kunci penyempurnaan RPJMN Perubahan 2020- 2024.
Sumber: Rubrik Opini Koran Tempo Edisi 12 Mei 2020.