Jakarta, 17 Januari 2020
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluhkan banyaknya dana transfer daerah yang masih terparkir dan mengendap di rekening kas umum daerah. Bahkan, agar terlihat terserap, ada pemerintah daerah yang sekedar memindahkan dana transfer tersebut ke rekening lain.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu jenggah sebab uang itu seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan di daerah.
Hingga akhir November 2019, berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, nilai transfer anggaran yang tak terserap itu mencapai Rp186 triliun.
Jumlah ini masih lebih rendah ketimbang bulan sebelumnya yang mencapai Rp200-220 triliun. “Di satu sisi kami transfer rajin, sampai sana pindah akun bank saja, enggak terpakai. Ini jadi pemikiran kami,” ucap Sri Mulyani dalam paparan di Gedung DPD RI, Selasa (14/1/2020) lalu.
Kendati demikian, rendahnya serapan dana transfer ke daerah sejatinya bukan lah masalah baru, melainkan sudah terjadi sejak lama dan sudah berlangsung bertahun-tahun.
Data APBN KiTA November 2019 menunjukkan, serapan dana transfer daerah paling rendah terjadi pada pos Dana Bagi Hasil dan dana alokasi khusus (DAK) Fisik.
Sementara realisasi Dana Bagi Hasil baru mencapai Rp75,29 triliun atau 70,8 persen dari alokasi APBN 2019, sementara DAK Fisik baru terserap 69,09 persen atau sebesar Rp47,89 triliun.
Hal ini kerap ditemukan di sejumlah daerah penghasil sumber daya alam yang, menurut penuturan Sri Mulyani, jarang menghadapi masalah kas.
Utang Meningkat
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mendorong agar pemerintah daerah lebih gencar merealisasikan program-program pembangunan lewat dana transfer tersebut.
Tak hanya untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di daerah, tapi agar utang yang ditarik pemerintah pusat untuk pembiayaan anggaran tersebut tak sia-sia.
Pemerintah daerah mungkin dapat berpikir penempatan dana di bank akan memberi mereka bunga perbankan. Namun, pemerintah pusat justru dipusingkan dengan pembayaran bunga utang yang tak sedikit.
Sampai dengan 30 November 2019 saja, uang yang digelontorkan pemerintah untuk membayar bunga utang mencapai Rp267,6 triliun—lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2018 (Rp251,1 triliun).
Sementara utang yang ditarik pemerintah untuk pembiayaan APBN hingga akhir November 2019 mencapai Rp442.923,6 triliun atau 123,29 persen target.
Di samping itu, ada pula potensi dampak ekonomi yang hilang karena ada sejumlah besar uang tak berputar apalagi beredar di masyarakat.
“Kalau sudah dibelanjakan harusnya sudah bisa dinikmati masyarakat. Proyek jadi lebih cepat dan kegiatan ekonomi berjalan lebih dulu,” ucap Suahasil saat ditemui di Ritz Carlton Pacific Place, Kamis (16/1/2020) lalu.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Primanto Bhakti mengatakan permasalahan sebenarnya berada di pemerintah daerah itu sendiri.
Ia bilang ada peran kurangnya perencanaan sampai penundaan pembayaran. Bahkan, akibat penundaan itu ada dapak pada pelayanan publik seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), honor, dan lainnya. Untuk mengantisiapsi itu, Kemenkeu akan memberi sanksi pada daerah yang pembelanjaannya belum optimal.
“Kita akan berikan sanksi, salah satu contoh sanksinya yaitu DAU [Dana Alokasi Umum] sebuah daerah akan kami tunda pemberiannya sebelum daerah memenuhi mandatory spending-nya,” ucap Astera dia di Kementerian Keuangan, Rabu (15/1/2020).
Serapan K/L Juga
Belum Optimal Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transformasi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan paham jika pemerintah pusat jengkel dengan banyaknya dana terparkir itu. Pasalnya, uang sebanyak Rp186 triliun itu setara 8 persen dari total belanja APBN.
Jika pemerintah pernah mengklaim serapan anggaran APBN 2019 83,14 persen, maka realisasi sebenarnya cuma sebesar 75 persen. Pasalnya ada 8 persen anggaran transfer ke daerah yang tak terserap.
“Itulah yang kami sebut serapan semu APBN,” ucap Misbah saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (16/1/2020).
Meski demikian, kata Misbah, realisasi anggaran pemerintah pusat juga yang perlu dibenahi.
Ia mencontohkan sering kali petunjuk teknis dari kementerian terkait terlambat terbit. Alhasil kementerian/lembaga (K/L) ikut terlambat melakukan lelang proyek di samping kemungkinan adanya kesalahan dan kegagalan perencanaan.
Riset yang dilakukan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Agustus 2019 menggambarkan bagaimana anggaran belanja pemerintah tersebut tersebut gagal mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal.
Berdasarkan asumsi Bappenas, 1 persen kenaikan belanja K/L seharusnya mampu memberi andil peningkatan pertumbuhan ekonomi 0,06 persen.
Dengan peningkatan serapan hingga 11 persen sepanjang Januari-Agustus 2019, harusnya dana yang ditransfer ke daerah itu harusnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 0,66 persen. Namun, yang terjadi justru pertumbuhan ekonomi hanya tereskalasi sebesar 0,24 persen secara riil.
“Ini mengindikasikan lemahnya pengendalian dan monitoring pelaksanaan anggaran pemerintah,” ucap Misbah.