Jakarta, 5 Maret 2019
Biaya kampanye sangat mahal. Ini realitas yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Saking mahalnya, penggunaan biaya kampanye berasal dari “dana gelap” bukan mustahil menjadi praktik lumrah. Sayangnya, ada tidaknya aliran dana gelap sulit dilacak. Pertanyaannya, seberapa besar potensi dana gelap biayai kampanye berseliweran pada Pemilu 2019?
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengharamkan anggaran pemerintah, baik APBN maupun APBD, digunakan untuk dana kampanye. Begitupun duit yang dikelola BUMN, BUMD, dan BUMDes. Selain itu, sumber dana kampanye juga dilarang berasal dari hasil tindak pidana, entah korupsi ataupun money laundring.
Meski sudah diatur secara detile, bukan tidak mungkin para peserta Pemilu 2019 mengabaikan larangan sumber dana kampanye tersebut. Konon, sebagian kontestan politik hanya memikirkan bagaimana logistik kampanye bisa terpenuhi, asal-muasal dana kampanye tak begitu dipedulikan.
Penilaian tersebut sepertinya tidak berlebihan. Sejumlah calon kepala daerah pada Pilkada 2018, misalnya, rela mengumpulkan duit hasil korupsi demi memenuhi logistik kampanye. Salah satunya, kasus suap (mantan) Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra pada Februari 2018. Uang hasil korupsi tersebut digunakan untuk membiayai kampanye ayahnya, Asrun, menjadi calon Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada 2018.
Jika melihat realitas di atas, boleh jadi praktik serupa juga dilakukan sejumlah peserta Pemilu 2019. Meski begitu, ada tidaknya aliran dana gelap dalam hajatan politik tahun 2019 ini tergantung hasil pengawasan yang dilakukan. Tapi pertanyaannya, mampukah instrumen pengawasan pemilu dalam memantau aliran dana gelap dalam kampanye Pemilu 2019?
Sebenarnya, tiap peserta pemilu wajib melaporkan dana kampanye kepada KPU. Berapa dan berasal dari mana dana kampanye, lalu digunakan untuk apa saja duit tersebut. Hal ini guna mewujudkan transparansi pengelolaan dana kampanye. Dengan kata lain, laporan dana kampanye untuk menjamin peserta pemilu tidak menerima duit dengan cara yang tidak dibenarkan peraturan perundang-undangan.
Bahkan KPU, melalui kantor akuntan, mengaudit dana kampanye peserta pemilu. Singkatnya, audit ini dilakukan untuk melihat sejauh mana pengelolaan dana kampanye dilakukan secara transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab.
Lalu, apakah audit terhadap laporan dana kampanye bisa men-tracking ada tidaknya dana gelap membiayai kampanye peserta pemilu? Sebab, jika sumber dana kampanye berasal dengan cara yang tidak dibenarkan undang-undang, sejumlah kalangan meyakini duit itu tak akan dilaporkan dalam laporan dana kampanye. Kalaupun dilaporkan, pasti sudah dimanipulasi sedemikian rupa agar seolah-olah sumbangan dana kampanye berasal dari sumber yang sah.
Jika aliran dana gelap begitu marak membiayai kampanye para peserta pemilu terutama pilpres, apa iya konsekuensinya hanya melahirkan perilaku korup jika terpilih? Atau, jangan-jangan bisa mengancam kedaulatan negara?
Apa pendapat Anda? Watyutink?
Misbah Hasan
Sekjen Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (FITRA)
“Perlu Audit Investigatif dalam Melacak Dana Kampanye Ilegal”
Hingga 28 Februari 2019, dana kampanye Jokowi-Ma’ruf sebesar Rp130,452 miliar yang bersumber dari sumbangan: Badan Usaha Non-Pemerintah 36,9 persen, Parpol pendukung 20,6 persen, Perorangan 9 persen, Barang/Jasa 33,2 persen, dan sisanya bunga bank.
Sedangkan dana kampanye Prabowo-Sandi sebesar Rp134,181 miliar bersumber dari sumbangan: Prabowo 27,1 persen, Sandiaga Uno 71,1 persen, Partai Gerindra 1 persen, sisanya dari sumbangan perorangan, kelompok, dan bunga bank.
Sumbangan dari sumber-sumber yang ilegal selama ini pasti tidak dicatatkan dalam laporan dana kampanye, meski potensinya cukup besar di kedua paslon tersebut.
Sementara instrument pengawasan, terutama aspek pencegahan yang ada selama ini masih lemah, karena audit dana kampanye biasanya dilakukan pasca pemilu. Itu pun, terhadap dana yang dicatatkan.
Harusnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigatif tidak hanya sebatas dana kampanye yang dicatatkan. Atau, Bawaslu diberi kewenangan menyewa auditor independen untuk melakukan pengawasan per bulanan terhadap dana kampanye paslon dan parpol.
Bila BPK dan auditor Bawaslu melakukan audit investigatif, saya yakin bisa men-tracking sumber-sumber dana kampanye yang ilegal.
Untuk pemilu legislatif dan DPD, konsekuensi bila parpol terlambat menyerahkan laporan awal dana kampanye atau ketahuan menggunakan biaya kampanye haram, mereka bisa didiskualifikasi dari keikutsertaan pemilu, khususnya di tingkat pusat. Untuk parpol di daerah tetap bisa berlaga. Ini sepertinya tidak berlaku bagi pemilu presiden dan wakil presiden.
Sumber: https://www.watyutink.com/opini/Perlu-Sistem-Audit-yang-Mampu-Deteksi-Dana-Ilegal