Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA ) pada Kamis 20/8 menggelar Konferensi Pers bersama Koalisi APBN Konstitusional dengan tema “Arah Kebijakan APBN 2015: Jebakan Kepemimpinan SBY Bagi Presiden Baru”. Dalam Konferensi Pers bersama Komisi Anti Utang (KAU), Komisi Anggaran Independent dan Perkumpulan Prakarsa ini FITRA memandang bahwa sejatinya anggaran merupakan politik sumber daya, yang digunakan semaksimal mungkin oleh penguasa untuk kepentingan politiknya. Koalisi APBN Konstitusional ini menilai dalam mewujudkan wajah anggaran untuk kepentingan tertentu, prosesnya dapat dilakukan dengan pragmatis maupun ideologis, menurut Sekjend FITRA Yenny Sucipto bagaimanapun proses pembentukan wajah anggaran tersebut akan terdapat berbagai kepentingan politik di belakang semua program mata anggaran yang disusun
“Saat ini merupakan tahun transisi pemerintahan dari kepemimpinan SBY ke presiden baru, dan kami ingin menyampaikan respon kritis terhadap arah kebijakan anggaran yang telah disampaikan oleh SBY melalui Nota Keuangan 2015. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian dari kepemimpinan baru nantinya agar janji-janji politiknya tidak tersandera dalam APBN 2015, karena selain minimnya ruang fiskal juga arah kebijakan kepemimpinan SBY masih mewarnai dalam kebijakan anggaran” Terang Yenny.
Ditambahkannya, Kebijakan pendapatan baik dari sektor pajak dan PNBP khususnya di sektor energi, belanja sosial, belanja subsidi dan kebijakan pembiayaan, menjadi konsen koalisi ini untuk menjadi perhatian bagi kepemimpinan baru mendatang.
Penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun PNBP (penerimaan negara bukan pajak), sehingga membuka peluang terjadinya korupsi penerimaan negara, seperti yang terus berulang selama ini. Penerimaan pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat ekonominya setara. Pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar. Pada tahun 2015, direncanakan 77,79% penerimaan negara (sekitar 1.370 triliun rupiah) berasal dari pajak. Persentase dan nominal tersebut melebihi dari 3 tahun sebelumnya (2012-2014), yang berkisar 1.246,1 triliun (APBNP 2014), 1.148,4 tirliun (APBNP 2013), dan 1.016,23 triliun (APBNP 2012). Meskipun naik secara nominal, namun sebenarnya RAPBN 2015 hanya mentargetkan penerimaan pajak masih berkisar 12,32% dari PBD. Persentase tersebut turun jika dibandingkan dengan target APBNP sebesar 12,38% dari PDB. Sebagai negara dalam kategori the middle income country, kisaran 12% jauh berada di bawah negara-negara sekelas dan tetangga, seperti Malaysia (18,8%) dan Thailand (19,5%).
Tax ratio Indonesia dalam 5 tahun terakhir tidak pernah mencapai 14%. Dengan alasan untuk menutup defisit, utang masih menjadi pilihan untuk jalan keluar sehingga penerimaan pajak belum menjadi solusi dalam menutup defisit. Belum optimalnya tax ratio Indonesia menunjukkan adanya permasalahan mendasar pada sistem perpajakan Indonesia, dan terdapat penyalahgunaan atau korupsi perpajakan masih tinggi dimana hal tersebut dibuktikan dengan temuan PPATK terhadap 63 rekening gendut yang dimiliki oleh PNS muda. Selama 5 tahun terakhir, pemerintah masih belum bisa mengoptimalkan kinerja penerimaan pajak. Penerimaan pajak hanya naik secara incremental (proporsional terhadap kenaikan PDB). Hal tersebut disebabkan tidak ada perubahan kebijakan dan strategi pemungutan pajak yang signifikan, sehingga tingkat kepatuhan pajak rendah. Keadaan penerimaan negara yang demikian stagnan menyebabkan ruang fiscal menjadi sempit dan program-program kerakyatan yang akan dikerjakan pemerintahan baru terancam batal.
Sekjend Komisi Anti Utang Waidl mengataka
PNBP (khususnya sektor SDA) cenderung mengalami penurunan dan berpotensi terjadi korupsi. “Selama tahun 2006 hingga 2012 sektor migas mendominasi penerimaan (PNBP), dengan memberikan kontribusi rata-rata 60,5%. Kami melihat bahwa kepemimpinan SBY tidak pernah melakukan optimalisasi tata kelola SDA, dan hal ini menyebabkan kerugian negara akibat praktek bisnis dan adanya ketidakadilan kontrak-kontrak kerjasama berupa hak pengelolaan bagi hasil, royalti/penjualan SDA, serta pengaturan konsepsi pertambangan dan investasi sumber minerba yang masih tumpang tindih” ungkapnya
Sampai berakhirnya kepemimpinan SBY, belum pernah ada pembenahan untuk memperbaiki pembayaran royalti, sehingga 60% dari keseluruhan korporasi ekstraktif disinyalir tidak membayar royalti tersebut. Dan diduga dalam pengaturan konsepsinya hanya menggunakan tarif tax treaty, sempat pemerintah TA 2012 kehilangan penerimaan negara Rp 2,35 triliun hanya dari royalti saja. Problematika lain yang muncul adalah, masih terdapat 30 KKKS yang tidak konsisten dalam menggunakan tarif pajak PPh, kemudaian tidak adanya pengawasan yang memadai terhadap kepatuhan kewajiban perpajakan KKKS (sehingga negara dirugikan Rp 655 milyar karena pemerintah belum mengenakan sanksi atas keterlamatan).
Ditambahkan pula oleh Yenny, bahwa Pengelolaan di tubuh BUMN. Tingginya nilai PMN yang telah dikeluarkan oleh APBN (per 31 desember 2012) telah mencapai Rp 667,3 triliun. Jika terhitung sejak tahun 2010, ada penambahan nilai PMN terhadap BUMN dalam kurun waktu 3 tahun sebesar Rp 154 triliun, namun setoran/bagi hasil laba untuk pemerintah hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 89 trilun (24%) dari total laba yang dihasilkan oleh BUMN sebesar RTp 358,4 triliun. Artinya BUMN tidak pernah memberikan kontribusi pada APBN padahal terdapat keuntungan yang besar, dan posisi terakhir laba yang ditahan oleh BUMN sebesar Rp 407,5 triliun (dengan alasan untuk ekspansi pengembangan). Hal tersebut bisa saja berpeluang dimanfaatkan oleh kepentingan elit maupun berpeluang terjadinya korupsi karena tidak ada satu pun dalam pengelolaan BUMN terdapat regulasi mengenai besaran PMN yang harus dileuarkan oleh APBN, regulasi mengenai Deviden, atau pun regulasi mengenai laba yang harus di tahan oleh BUMN. Mengingat sepanjang tahun 2008-2011 telah ditemukan sebanyak 2.186 kasus di tubuh BUMN dengan nilai temuan sebesar Rp 125,5 triliun, dan itu pun baru dikemballikan ke negara sebesar Rp 5,3 triliun.
Koord. Riset Prakarsa Ah Machtuha, juga mengatakan kebijakan utang seiring dengan ditetapkannya target defisit dalam RAPBN 2015 sebesar 2,32 persen terhadap PDB, sumber pembiayaan defisit dari utang secara nominal mengalami peningkatan, dari sebesar Rp253.724 triliun pada APBNP 2014 menjadi Rp282.724 triliun dalam RAPBN 2015. Terus berlangsungnya praktik ketergantungan utang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain pertama beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang yang sangat besar. Tahun 2014, pemerintah menetapkan pagu pembayaran cicilan pokok Rp247.696 triliun dan bunga Rp121.286 triliun, Kedua Ketergantungan BUMN dan pemerintah daerah atas utang luar negeri semakin besar. Sebagaimana terlihat diantaranya pada penerusan pinjaman tahun 2015 kepada PT PLN sebesar Rp3.287 triliun, Pertamina Rp677,6 miliar dan Provinsi DKI Jakarta Rp298,6 miliar Ketiga pengadaan alutsista dan almatsus yang semakin besar dengan pembiayaan utang; dan Keempat terus berlangsungnya praktik penggunaan utang untuk pos-pos belanja publik seperti pendidikan dan kesehatan; dan KelimaTidak optimalnya penerimaan negara dan kontribusi BUMN yang lemah Keenam praktik inefisiensi/pemborosan anggaran.
Oleh karena Seknas FITRA bersama Koalisi APBN Konstitusional merekomendasikan pada Pemerintahan baru mendatang untuk menetapkan peningkatan rasio pajak (target optimis) minimal 5% GDP, sehingga tahun 2016 ke atas bisa memperoleh tax ratio minimal 17%, dengan mempertimbangkan beberapa usulan dengan cara menghitung tax gap dan potensi pajak yang riil dan memperluas wajib pajak dari 25 juta menjadi minimal 60 juta, Mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak dan penegakan hukum atas kasus-kasus besar pajak, Memperluas struktur perpajakan dengan menambah dua lapis kelompok pembayar pajak Kaya dan Super Kaya (35% dan 40%), Meningkatkan trust terhadap institusi perpajakan melalui penataan kelembagaan perpajakan yang bersifat menyeluruh dan berjangka panjang, melalui upaya pembentukan Badan Penerimaan Negara yang berada langsung di bawah Kantor Presiden, Melakukan pembenahan pada sistem rekrutmen kepegawaian serta melanjutkan reformasi e–tax dan membuka akses publik kepada peradilan pajak, rekrutmen hakim–hakim serta proses penanganan perkara pajak, Menginisiasi payung hukum yang memberi akses KPK terhadap perkara manipulasi pajak baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha.
Ditambahkan oleh Direktur KAU Dani Setiawan, bahwa Pemerintah Baru perlu mengoptimalkan sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui beberapa cara yakni dengan meningkatkan potensi lifting minyak bumi serta memperluas Domestic Market Obligation (DMO) dalam bagian pemerintah di sektor Migas guna mendorong kemandirian energi dan mengendalikan dampak fluktuasi harga minyak global, kemudian Pada sektor non–migas, Pemerintah Baru dapat mempertimbangkan peningkatan potensi penerimaan melalui kenaikan tariff maupun melalui perluasan terhadap sektor atau obyek penting yang membawa keuntungan besar namun selama ini belum dikenakan PNBP, Membuka akses publik terhadap pengawasan penerimaan negara, termasuk akses informasi di peradilan pajak serta terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak dan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) secara berkala.
Ditambahkan lagi oleh Sekjend FITRA Yenny Sucipto, Seyogyanya DPR dan Pemerintah ke depan harus memahami bahwa utang telah menjadi sumber malapetaka bangsa dan segera menyusun langkah-langkah kebijakan untuk menghentikan ketergantungan utang dan mengurangi nilai utang secara absolut bukan hanya menurunkan rasio utang. Hal tersebut dapat dilakukan antara lain: Pertama, mendorong diplomasi yang efektif untuk memanfaatkan peluang dan fasilitas penghapusan utang-utang Indonesia, terutama yang termasuk dalam kategori utang najis dan tidak sah (Odious Debt/Illegitimate Debt) dengan pihak kreditor. Kedua, Pengurangan stok ULN pemerintah melalui optimalisasi mekanisme debt swap (konversi utang), seperti debt to nature swap, debt to education swap, atau debt swap for poverty reduction dengan tetap menghormati prinsip-prinsip kedaulatan dan kepentingan nasional; Ketiga, menghentikan pembayaran bunga obligasi rekapitulasi dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Obligasi Rekap); Keempat, membatalkan ULN yang belum ditarik/belum diserap karena menimbulkan beban pembayaran commitment fee.
#Redaksi FITRA