Usulan kenaikan dana bantuan partai politik dinilai tidak menjamin dapat mencegah praktik korupsi yang melibatkan kader partai. Sejumlah pihak mengingatkan bahwa tanpa reformasi sistem kepartaian dan tata kelola yang transparan, penambahan dana negara justru berisiko memperbesar potensi penyimpangan.
Peneliti Divisi Hukum, HAM, dan Demokrasi dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Siska Barimbing, menilai peningkatan bantuan negara kepada partai politik (parpol) memang relevan. Namun, itu harus disertai dengan reformasi tata kelola dan pengawasan yang ketat.
“Peningkatan dana bantuan parpol tidak otomatis mencegah korupsi. Sejak 2011 hingga 2023, laporan Think Policy dan What Is Up Indonesia menunjukkan maraknya kasus korupsi yang melibatkan partai politik. Artinya, dana dari negara bukan solusi tunggal,” ujar Siska dalam keterangan tertulis kepada Kompas
Saat ini, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018, ditetapkan bantuan dana parpol dari pemerintah sebesar Rp 1.000 per suara sah untuk tingkat pusat (DPR), Rp 1.200 untuk tingkat provinsi (DPRD provinsi), dan Rp 1.500 untuk tingkat kabupaten/kota (DPRD kabupaten/kota).
Sejumlah kalangan, mulai dari akademisi hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah lama merekomendasikan peningkatan alokasi dana bantuan parpol. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan partai pada dukungan finansial dari kelompok berkepentingan tertentu.
Namun, wacana ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, ada yang mendukung demi penguatan demokrasi dan integritas partai. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa subsidi besar justru dapat membebani keuangan negara.
Usulan kenaikan secara eksplisit disampaikan oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keduanya mengusulkan agar bantuan negara dinaikkan menjadi Rp 10.000 per suara sah, naik drastis dari skema saat ini yang berada di kisaran Rp 1 .000 per suara.
Lima syarat
Menurut Siska, sejumlah catatan harus menjadi perhatian pemerintah dan parlemen jika ingin menaikkan bantuan yang kini diusulkan menjadi Rp 10.000 per suara sah, naik tajam dari besaran saat ini, yaitu Rp 1.000 hingga Rp 1.500 tergantung tingkatan.
FITRA mencatat, sistem pengawasan dana parpol masih lemah. Informasi penggunaan dana parpol yang seharusnya terbuka untuk publik, seringkali sulit diakses. Banyak pejabat informasi di partai tidak memahami mandat Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun masih sebatas uji petik.
Di sisi lain, Siska menyoroti kondisi fiskal negara yang sedang tertekan akibat proyek-proyek populis, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, FITRA menilai kenaikan dana parpol mesti dilakukan bertahap dan memperhatikan kemampuan keuangan negara.
“Jangan sampai dana parpol justru menggerus anggaran sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” tegasnya.
FITRA mengajukan lima rekomendasi untuk menjamin efektivitas bantuan keuangan partai. Pertama, partai harus menyediakan dashboard laporan keuangan yang bisa diakses publik dan menyerahkan laporan hasil audit dari auditor independen.
Kedua, penggunaan dana sebaiknya ditentukan untuk peningkatan kualitas kader, khususnya kader perempuan, bukan hanya operasional. Ketiga, penyaluran dana parpol perlu mempertimbangkan indikator kinerja partai, tidak semata jumlah kursi di parlemen.
“Misalnya, kehadiran dalam rapat, kualitas legislasi, atau keterbukaan menerima aspirasi publik harus ikut jadi indikator,” kata Siska.
Keempat, FITRA mendorong pemberian sanksi tegas bagi penyalahgunaan dana parpol, seperti diskualifikasi dari pemilu berikutnya. Kelima, perbaikan sistem partai dan pemilu dinilai mendesak agar pembiayaan partai menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak tersandera biaya politik yang tinggi.
“Tanpa reformasi sistemik, kenaikan dana justru bisa memperbesar potensi masalah,” ucap Siska.
Kendala
Secara terpisah, Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/5/2025), menyatakan bahwa wacana penambahan dana partai merupakan hasil kajian tim pencegahan KPK yang telah berdiskusi dengan berbagai partai soal mahalnya biaya politik.
“Selama ini kan cost untuk partai politik ini begitu besar. Dari mana sumbernya? Nah, biasanya yang terjadi adalah money politic yang nggak bisa tertahan. Termasuk soal konsolidasi, sosialisasi, cetak kader, itu semua butuh biaya,” kata Cucun.
Namun demikian, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menekankan bahwa besaran bantuan bukanlah hal utama. Justru yang kerap menjadi kendala bagi partai di lapangan adalah aturan teknis penggunaan dana yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Aturan itu dinilai terlalu kaku sehingga menyulitkan fleksibilitas penggunaan anggaran, khususnya di tingkat daerah.
“Bayangkan, masa setiap tahun harus beli ATK (alat tulis kantor)? Masa setiap tahun harus beli AC? Justru kalaupun dinaikkan, harus jelas peruntukannya. Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya di Permendagri itu yang harus dibenahi juga,” ujar Cucun.
Terkait nominal usulan, PKB tidak menetapkan angka tertentu, tetapi menekankan bahwa dana yang disalurkan harus dapat digunakan secara efektif oleh partai tanpa menyalahi aturan. “Dikasih Rp 10.000, dikasih Rp 5.000, tetapi partai nggak bisa pakai karena melanggar aturan, nanti malah jadi temuan BPK, jadi fraud,” ujarnya.
Meski demikian, secara prinsip PKB mendukung adanya peningkatan dana bantuan negara untuk partai politik. “Ya kita mendukung, setuju lah. Siapa yang nggak setuju? Kita bisa jalankan proses kaderisasi di partai kalau ada anggaran,” tegas Cucun.
Dengan berbagai catatan tersebut, wacana kenaikan bantuan keuangan parpol tampaknya tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa pembenahan sistem, pengawasan, dan peraturan teknis yang memungkinkan penggunaan anggaran secara tepat guna dan transparan, risiko penyalahgunaan tetap mengintai.
Kemampuan anggaran negara
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (27/5/2025), mengatakan, usulan kenaikan dana bantuan partai politik (parpol) bisa saja dimaksudkan untuk mengurangi potensi korupsi dengan mencukupi kebutuhan operasional partai. Namun, usulan tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran negara.
”Jadi, hal itu perlu dikaji kembali dan apakah kemudian anggaran yang ada di APBN memang bisa cukup untuk membiayai hal tersebut. Itu dulu,” ujar Puan.
Sementara Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menekankan bahwa partai memang membutuhkan anggaran untuk operasional, kaderisasi, hingga workshop. Namun, ia menilai, kenaikan bantuan parpol belum urgen dan perlu didahului dengan penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) partai.
”Jadi, sesungguhnya yang diperlukan adalah penguatan kapasitas dari partai politik itu sendiri karena mengelola anggaran yang sejatinya dari APBN,” tutur Said.