Mega skandal kasus BLBI dan Century terancam terhenti akibat kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan upaya pra peradilan kasus BLBI dan Century oleh sekumpulan koruptor konglomerasi, Kejahatan ekonomi masalalu tersebut telah menjerumuskan bangsa Indonesia pada kemiskinan tujuh turunan. Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat kasus BLBI, yang awalnya Rp. 650 Triliun tahun 1998 Negara dari nilai cicilan pengembalian hutang dengan bunga dan obligasi rekapitulasi fix rate dan variable rate pada 2015 ini telah merugi hingga Rp 2000 Triliun hingga terancam sebesar Rp 5000 Triliun sampai tahun 2033 dan telah diperpanjang hingga 2043. Angka tersebut belum termasuk nilai guna dan nilai tambah dari aset yang seharusnya dikembalikan oleh obligor dari Surat Keterangan Lunas (SKL). Sedangkan untuk kasus Century dengan kerugian Rp. 6,7 triliun justru ditambah lagi Rp. 1,5 Triliun.
Beban BLBI menyebabkan postur anggaran Negara selalu defisit “Kebiasaan selalu menarik hutang dari luar negeri menambah ketergantungan pada asing, Setiap tahun defisit selalu meningkat jelas hal tersebut memicu kenaikan rasio hutang setiap tahun” terang Sekjend FITRA Yenny Sucipto dalam keterangan Persnya (1/3) di Jakarta. Ditambahkan oleh Yenny obligasi rekap pembiayaan hutang serta defisit yang selalu melebar menyebabkan kinerja ekonomi khususnya pertumbuhan ekonomi selalu menurun dalam lima tahun terakhir.
FITRA mencatat berbagai kebijakan diterbitkan di masing-masing era kepresidenan. Diantaranya masa pemerintahan Presiden Habibie, 65 Bank Dalam Penyehatan (BDP) dikelola oleh BPPN. Kemudian era Presiden Abdurahman Wahid, rekapitalasi dilakukan terhadap Bank Niaga dan Bank Danamon dalam hal ini dibentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Kepres 177/1999. Di tahun 2000 yangnkemudian disahkan UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas, dan tahun 2001, Pada era Megawati Sukarno Putri diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002 yang intinya memberikan jaminan kepastian pada obligor yang kooperatif dan sanksi terhadap yang tidak kooperatif. Berdasarkan “Inpres Megawati” inilah diterbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada lima obligor kakap. Kejanggalan yang sangat tampak terlihat pada: ternyata obligor yang mendapatkan stempel LUNAS masih mempunyai kewajiban atau utang yang belum dilunasi, dengan total 89,87 triliun. Sebelumnya, beberapa aktor justru dibebaskan oleh kejaksaan dan berhenti di kepolisian
Sayangnya pada Era SBY, kasus ini seperti berhenti selama sepuluh tahun. Hanya KPK yang mencoba mewarnai penyelidikan baru terkait dengan dugaan korupsi pada SKL yang ternyata belum lunas. Penyelidikan KPK merupakan angin segar yang mengarah pada salah satu obligor BDNI Sjamsul Nursalim. Pembayaran Hutang BLBI dan Bunga Tidak Transparan Saat Era SBY dari jatuh tempo 2033 hingga 2043.
Menurut Koordinator Advokasi dan Ivestigasi Anggaran FITRA Apung penanganan kasus lebih parah, pada masa Jokowi saat ini. Status tersangka yang ditetapkan pada beberapa orang petinggi KPK berakibat pada Penanganan kasus yang sedang diselidiki KPK terancam terhenti, karena KPK dilemahkan dengan kriminalisasi serta upaya hukum pra peradilan terhadap kasus BLBI khususnya SKL.
“Sikap KPK terhadap penanganan kasus BLBI dan Century pasca Kriminalisasi Bambang Widjojanto dan Abraham Samad otomatis berengaruh terhadap penuntasan dan peyelidikan kasus dei kasusnya “ papar Apung.
Ditambahkan oleh Apung Fitra memberikan rekomendasi Dalam negeri, Presiden harus menjadi garda terdepan membongkar Kejahatan Ekonomi berupa korupsi BLBI dan Century, agar Indonesia merdeka dan berdaulat sepenuhnya dalam satu abad kemerdekaan tahun 2045.
“Keluar negeri, presiden perlu melakukan langkah diplomasi ekonomi politik untuk memutus ketergantungan Indonesia kepada asing terkait dengan obligasi rekap yang setiap tahun dibayarkan mencapai 100 triliun. Hal ini agar kita menjadi Negara berdaulat dan mempunyai landasan APBN yang berdaulat sesuai konstitusi Pancasila dan UUD 1945” tegas Apung.
Yenny menambahkan terkait dengan SKL, Presiden dapat meninjau ulang Inpres era Megawati, memerintahkan BPK dan PPATK untuk melakukan audit investigasi dana SKL dan nilai asset BLBI “Presiden jangan diam, tetapi harus memperkuat KPK sebagai satu satunya institusi yang kredibel dalam upaya penyelesaian kasus BLBI dan Century. Presiden bertanggungjawab jika kasus BLBI dan Century lenyap dan terjadi kebangkrutan Negara” ungkap Yenny.
Ditambahkan lagi oleh Yenny dalam kasus BLBI, ditengah badai kriminalisasi, KPK harus segera bangkit dan meneruskan proses penanganan kasus ini dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan terhadap seluruh obligator. “Dalam kasus Century, KPK harus segera menetapkan tersangka baru paska putusan MA, Kejahatan Perbankan yang berdampak pada ekonomi yaitu BLBI dan Century harus menjadi perhatian khusus dalam rencana revisi UU Perbankan, UU BI, UU Penjaminan, UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang menjadi Prolegnas 2015 di DPR agar kedepan tidak terjadi korupsi dalam setiap penyelesaian menangani krisis ekonomi” Terangnya. Redaksi FITRA
Jakarta 1 Maret 2015