Skip to main content

Tahun 2011 merupakan tahun pembajakan anggaran oleh elit politik maupun birokrasi, yang berakibat terhadap pengabaian kesejahteraan rakyat.Pembajakan anggaran terjadi dengan semakin terkuaknya praktek mafia anggaran yang dikonfirmasi dari kasus suap di Kemenpora, Kemenakertrans dan penetapan anggota Badan Anggaran sebagai tersangka.Praktek ini mengkonfirmasi badan anggaran menjadi sumber praktek mafia anggaran.

Pembajakan anggaran juga dilakukan secara terang-terangan dengan praktek menghamburkan uang rakyat untuk kepentingan elit politik dan birokrasi pada tahun ini. Usulan pembangunan gedung DPR yang mengandung aroma tak sedap, pembelian pesawat Presiden dengan logika sesat dan membebani rakyat dengan hutang, serta belanja perjalanan yang menjadi ajang bancakan birokrasi, menunjukan praktek pembajakan oleh elit dipertontonkan di hadapan publik. Terjadinya pembajakan anggaran secara terus menerus, tidak lain karena lemahnya penegakan hukum dan kondisi penganggaran yang masih tertutup. Efektifitas alokasi anggaran pemberantasan korupsi, menunjukan lemahnya pengembalian asset yang dikorup, tidak sebanding dengan alokasi anggaran untuk pemberantasan korupsi.Kondisi ini diperburuk dengan masih tertutupnya badan publik, khususnya kemneterian/lembaga dan partai politik untuk membuka informasi anggarannya.

Akibat pembajakan anggaran ini, berimplikasi terhadap kebijakan anggaran pendidikan dan kesehatan yang masih tidak efektif.Meski pemerintah telah memenuhi 20% anggaran pendidikan, namun yang terjadi anggaran pendidikan menjadi keranjang sampah yang menampung berbagai hal.Di Pusat anggaran pendidikan tersebar di 19 Kementerian/Lembaga, bahkan hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk Gaji.Pemerintah juga mempertontonkan pelanggaran UU Kesehatan, dengan tidak memenuhi 5% anggaran kesehatan.Tidak mengherankan, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, yang salah satunya menggunakan indikator pendidikan dan kesehatan mengalami kemunduran.

Pembajakan anggaran oleh elit juga menyebabkan kesejahteraan rakyat daerah terabaikan akibat kebijakan dana perimbangan yang distortif dan carut marut praktek penganggaran daerah. Kebijakan dana perimbangan justru memberikan insentif terhadap terjadinya pembengkakan belanja pegawai dan kesenjangan transfer per kapita yang semakin tinggi. Akibatnya, hampir separuh lebih daerah mengalokasikan belanja pegawainya di atas 50% dari APBD-nya. Hal ini diperparah dengan kerugian daerah yang terus mengalami peningkat berdasarkan audit BPK.

Penulis:
Yenny Sucipto, Uchok Sky, Lukman Hakim, Hadi Prayitno

Dukungan:
Seknas FITRA

Tahun:
2011