APBN yang sejatinya digelontorkan oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat ternyata masih disusun sekedar untuk segelintir elit, belum menyentuh persoalan-persoalan mendasar rakyat seutuhnya dan dalam tahap penyusunannya masih sekedar ritual tahunan, penyerapan rendah, serta belum efisien dan efektif dalam pengelolaanya. Padahal anggaran merupakan salah satu instrument ekonomi pemerintah yang memiliki fungsi menciptakan keadilan dan distribusi.
Kewajiban negara untuk memberikan kesejahteraan rakyat, hanya dapat terwujud jika anggaran yang disusun melalui APBN setiap tahunnya merefleksikan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Dalam Konferensi Pers Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) yang berlangsung Senin, (30/12) Sekjend FITRA Yenny Sucipto menyebut ada ada 10 persoalan dalam kebijakan anggaran 2013, yang ditetapkan oleh pemerintah yang pertama adalah Peranan PNBP dalam APBN 2013 cenderung mengalami penurunan, khususnya penerimaan dari sektor sumberdaya alam. Kedua Target PNBP di sektor pertambangan umum sebesarRp 16,6 triliun, (APBNP 2012 sebesar Rp 15,3 trilun), namun, targetnya sangat rendah bila didasarkan pada potensi yang ada, mengingat regulasi sektor pertambangan masih belum stabil setelah penerapan bea keluar ekspor mineral.
Ada beberapa akibat dari rendahnya penerimaan Adanya praktek bisnis di sektor migas, pertambangan umum, perkebunan, kehutanan, dan perikanan dan ketidak adilan kontrak-kontrak kerjasama berupa hak pengelolaan, bagi hasil, royalti atau penjualan hasil SDA yang mengakibatkan kerugian negara karena hilangnya potensi pemanfaatan hasil kekayaan alam Indonesia merupakan 2 dari sekian banyak praktek bisnis di sektor migas.
Optimalisasi Kinerja BUMN. Dimana laba BUMN tidak sebanding dengan setoran ke negara yang hanya 20%. Kemudian ditambahkan oleh Yenny Ada penambahan nilai penyertaan modal negara terhadap BUMN sebesar Rp 154 triliun (2010-2012), per 31 desember TA 2012 mencapai 677,3 triliun. Namun setoran deviden dalam APBN hanya mencapai Rp 89 triliun (24% dari total laba BUMN sebesar Rp 358,4 triliun dalam kurun waktu 3 tahun). “Artinya BUMN tidak pernah memberikan kontribusi apapun terhadap APBN, ironisnya terdapat laba ditahan sebesar Rp 407,3 triliun di BUMN dan terdapat 15 BUMN dalam 3 tahun tidak setor laba” tuturnya. Yenny mencermati privatisasi maupun profitisasi, sesungguhnya tidak memberikan kontribusi yang besar bagi APBN, dan kontribusi BUMN ke APBN dengan kisaran total hanya 6%. Belanja pusat pun diorientasikan pada kepentingan pemerintah(belanjapegawaidanbarang), karena relative stabil pertumbuhannya.
Dalam kurun waktu 7 tahun terakhir (2006-2013) rerata pertumbuhan belanja pegawaisebesar 16 persen(Rp 22,18triliun), artinya melebihi rerata pertumbuhan belanja pusat 12 persen. Alokasi belanja pegawai meningkat 3 kali lipat atau Rp 232,9 triliun, hal ini menunjukkan pemerintah lebih banyak bermain pada kebijakan anggaran belanja yang tidak bersentuhan dengan rakyat dan berorintasi pada pertumbuhan ekonomi, namun tidak mau mengorbankan kepentingannya, dengan tetap mempertahankan stabilitas pada belanja pegawai dan barang.
Melihat hal tersebut, FITRA menyebut kebijakan anggaran tahun 2013 syarat politisasi dan menyengsarakan rakyat. Hal ini tidak sejalan dengan amanat konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”