Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menyoroti koalisi dengan beragam manuver elit partai politik pasca digelarnya pemilu legislatif 9 April lalu. Seknas FITRA melalui Direktur Advokasi & Investigasi Uchok Sky Khadafi menilai koalisi antar partai itu cenderung koruptif, koalisi itu selalu mengorbankan rakyat kecil. Menurut Uchok Koalisi adalah produk demokrasi Indonesia yang sudah sakit.
“Terlihat jelas siapa elite dan partai politik yang ngotot berkoalisi, padahal mayoritas rakyat tidak mengharapkan mereka memimpin bangsa ini. Tetapi para pemimpin parpol itu ngotot masuk dalam lingkaran kekuasaan,” kata Uchok.
“Untuk apa mereka berkoalisi, padahal rakyat tak menghendaki mereka memimpin negeri ini,” katanya.
Artinya, partai yang perolehan suara kecil, katakan dibawah 10 persen, harus tahu diri, sadar diri bahwa mereka tidak diinginkan untuk memimpin bangsa ini. Mayoritas rakyat tidak memilih mereka, sehingga perolehan suara partai tersebut kecil. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Partai yang perolehan suaranya kecil, justru sangat aktif dan gemar bermanuver dan berbicara soal koalisi.
Mereka gesit dan lincah ke sana kemari mencari teman koalisi. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Suryadharma Ali misalnya, sesaat setelah mengetahui hasil hitungan cepat (quick count) Pileg 2014, dia langsung berbicara soal koalisi. Padahal perolehan suara PPP hanya 7,08 % berdasarkan hitungan cepat. PPP menetapkan beberapa alternatif koalisi. Salah satunya adalah koalisi dengan tiga partai Islam lain, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sosial (PKS).