Jakarta, 30 April 2019
Presiden Joko Widodo telah memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa dalam rapat terbatas dengan sejumlah kepala daerah se-Jabodetabek pada Senin 29 April 2019.
Namun, dalam pelaksanaanya kebijakan pemindahan ibu kota ini memiliki sejumlah kekurangan dan cenderung perlu dikritisi lebih dalam lagi. Terlebih, wacana ini sudah dikaji sejak lama oleh Presiden sebelumnya.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan mengatakan wacana ini sudah sejak lama dibahas, namun kajiannya tidak serius dan tidak pernah dipublikasikan secara luas sehingga terkesan main-main dan tidak transparan.
Selain itu, lanjut dia, wacana pemindahan ini justru dapat memecah konsentrasi pemerintah dalam membahas isu yang lebih krusial, misalnya pembangunan ekonomi inklusif, penanggulangan kemiskinan, pemerataan dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.
Tak sampai di situ, Misbah memperkirakan anggaran memindah ibu kota yang ditaksir mencapai Rp446 triliun pasti akan mempersempit ruang fiskal pemerintah dan biasanya pemerintah ambil jalan pintas dengan pendanaan melalui utang.
“Ini yang musti dikritisi mengingat beban utang akan semakin berat, bunga utang Indonesia saja sudah 17 persen lebih dari total belanja APBN,” tegas Misbah dalam keterangan tertulisnya, Selasa 30 April 2019.
Ia mengungkapkan, APBN dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan tren defisit. Sehingga, menjadi tidak sehat jika APBN dikuras untuk pembiayaan pemindahan ibu kota, apalagi hanya digunakan untuk pembiayaan pengadaan infrastruktur awal, seperti kantor pemerintahan dan parlemen.
Dalam catatan FITRA, pada 2014 defisit APBN sebesar Rp220,2 triliun, 2015 sebesar Rp325,2 triliun, 2016 sebesar Rp321,9 triliun, 2017 sebesar Rp349,6 triliun dan pada 2018 Rp287,9 triliun.
Kemudian, terkait dengan utang, kajian FITRA mengenai utang menunjukkan bahwa utang BUMN jauh lebih besar dibanding dengan utang pemerintah. per 2017 utang BUMN mencapai Rp 4.825 triliun.
Angka utang 2017 itu mengalami peningkatan sebesar 38 persen dibanding 2014 yang mencapai Rp3.488 triliun. Selama proyek yang diselenggarakan BUMN rasio pembiayaan 30 persen dari ekuitas dan 70 persen dari pinjaman.
Untuk itu, Misbah menuturkan untuk melakukan pemerataan pembangunan sebaiknya tidak harus memindah ibu kota, tapi menerapkan konsep pembangunan dan pertumbuhan inklusif, terutama di wilayah timur Indonesia.
“Konsentrasi pada pembangunan Infrastruktur pada era kabinet kerja I sudah tepat, tinggal mengisi dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah prioritas pembangunan,” ujarnya.