Sekretaris Nasional Fitra, Yenny Sucipto dan peneliti Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam dengan tegas menolak 12 nama politisi yang masuk menjadi calon anggota BPK RI. Menurut mereka, Badan Pemeriksa Keuangan (KPK) harus bersih dari politisi. Alasannya sangat jelas yakni kinerja politisi di BPK mengecewakan, bahkan banyak keuangan negara yang bocor atau lepas dari audit BPK. “Dari 67 calon anggota BPK, terdapat 12 politisi atau mantan politisi DPR dan DPD RI. Padahal, BPK sebagai lembaga audit keuangan negara dari APBN, APBD, BUMN, dan kebijakan pembelanjaan lainnya, sebagai instrumen kesejahteraan rakyat, selama ini gagal diwujudkan. Karena itu, BPK harus bersih dan terlepas dari politisi,” kata Yenny Sucipto.
Menurut Yenny, selama tahun 2008-2011 terdapat kasus keuangan BUMN sebesar Rp 125 triliun yang tidak selesai diaudit. “Jadi, ini menjadi kunci bagi BPK untuk menyelamatkan uang negara, karena antara 30% sampai 50 % hilang. Dan per 31 Desember 2014 ini, yang kembali hanya Rp 15 triliun,” ujarnya.
Karena itu, kata Yenny, BPK harus terlepas dari politisi dan atau berafiliasi dengan korporasi. Yenny memberi contoh kinerja Rizal Djalil yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. “Kinerja Rizal Djalil tidak memberi harapan. Bahkan di sektor Minerba sebesar 40 % penerimaan negara berpotensi hilang. Laporannya hanya bersandarkan pada outcome, hanya penyerapan anggaran,” tambahnya.
Dengan demikian, lanjut Yenny, DPR RI harus bertanggung jawab terhadap keterpilihan anggota BPK mendatang. “Kalau asal tunjuk politisi, maka DPR RI telah menciderai rakyat dan berarti ada indikator kepentingan politik, sehingga ke-12 politisi itu harus dipertimbangkan untuk ditolak, karena rentan intervensi politik. Apalagi mereka selama ini tak mempunyai kontribusi dalam pengelolaan uang negara,” katanya.
Roy Salam menambahkan, selama ini BPK masih melakukan audit keuangan administratif, bukan audit kerja. Padahal, audit kerja itu lebih penting untuk mengetahui sejauh mana manfaat APBN dalam menyejahterakan rakyat.