Saat ini publik mempertanyakan keberpihakan Pemerintahan Jokowi-JK dalam pengelolaan politik anggaran. Program NawaCita Jokowi-JK yang didengungkan ketika kampanye yang menegaskan bahwa pemerintah tidak akan absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memprioritaskan upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi. Di ikuti dengan melanjutkan konsolidasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan dengan mengutamakan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera seolah berubah haluan, ketika Presiden Jokowi menaikkan uang DP Mobil.
“Presiden Jokowi menaikkan uang muka pembelian mobil secara pribadi untuk pejabat sebesar Rp158,8 Miliar” tegas Manager Advokasi dan Investigasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Apung Widadi dalam keterangan persnya kemarin (5/4) di Jakarta. Menurut Apung Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara Untuk Pembelian Kendaraan Perorangan, Perpres ini menaikkan fasilitas uang muka diberikan kepada pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sebesar Rp 116.650.000, Dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 diubah menjadi sebesar Rp 210.890.000 Kenaikannya mencapai 85%.
Apung menambahkan Pejabat lembaga yang akan menerima fasilitas uang muka pembelian kendaraan perorangan tersebut kurang lebih sebanyak 753 orang diantaranya DPR berjumlah 560 orang, DPD dengan 132 orang , Hakim Agung 40 orang ,Anggota KY berjumlah 7 anggota, Hakim MK 9 orang, dan Anggota BPK berjumlah 5 orang, dengan total anggaran DP Mobil sebesar Rp.158,8 Miliar anggaran tersebut mengalami penaikan sebesar Rp.87,8 Miliar dbandingkan dengan tahun 2010 yang hanya sebesar Rp.70,96 Miliar.
Sepanjang catatan FITRA Presiden Jokowi sudah beberapa kali membuat kebijakan yang cenderung tidak pro rakyat, Kebijakan Presiden Jokowi dengan menaikan uang DP kendaraan dinas termasuk dalam kategori pemborosan keuangan Negara. Karena DP Mobil tersebut terlalu besar, untuk kategori Mobil Mewah sekaliber Mercedes Benz. Padahal, setiap pejabat sudah diberi fasilitas mobil dinas.
“Ada upaya, balas budi setelah Pemilu dan pembungkaman menggunakan fasilitas kepada politisi parlemen dan pejabat agar tidak berseberangan. Ini politik birokrasi model lama yang dipraktekkan kembali dalam pemerintahan Jokowi-JK” Terang Apung
“Potensi korupsi DP mobil pribadi pejabat ini sangat tinggi. Karena, peruntukannya bisa untuk membeli hal lain selain mobil, karena pejabat negeri cenderung hidup bermewah-mewahan dengan memiliki banyak mobil” tambahnya. Hal tersebut dikawatirkan dapat memancing tindakan korupsi, “uang ini hanya DP Mobil, utuk pelunasan tentu saja pejabat akan mencari cara diluar gaji agar tidak terbebani setiap bulannya. Sehingga, bisa untuk melunasi kredit ini pejabat mengambil uang dari Negara” tukas Apung
Apung menambahkan Kebijakan Jokowi bertengangan dengan visi membangun transportasi public yang bagus. Justru dengan DP mobil ini mengajak masyarakat untuk membeli mobil.
FITRA juga menyinggung DBH Sumber Daya Alam (SDA) yang dipotong dan Anggaran Revolusi Mental Pemerintahan Jokowi yang cukup besar. DBH Sumber Daya Alam dari tahun 2013 hingga 2014 yang justru dipotong oleh pemerintahan Jokowi. Pemotongan DBH SDA Migas sebesar Rp. 414 miliar rupiah. Hutang DBH SDA kepada Pemda Rp. 11,95 triliun. Membuat pemerintah Jokowi dianggap pelit ke daerah, namun loyal pada pemerintah pusat melalui Kementrian. Hal ini cenderung sentralistik dan bertolak belakang dengan otonomi daerah. Kebijakan Belanja APBNP 2015, ada tambahan alokasi untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 20 triliun yang diikuti dengan target penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp 15,1 triliun dariyang semula Rp 127,7 triliun di APBN 2015 menjadi Rp 112,6 trilun” ungkap Apung. Anggaran Revolusi Mental sebesar Rp 172 Miliar pada APBN P 2015 justru merusak mental. Menurut Apung Anggaran tersebut dianggap belum jelas peruntukannya dan rawan korupsi juga, diduga hanya menghamburkan uang Negara dalam hal proyek sosialisasi, seminar dan komunikasi publik terkait dengan revolusi mental.
Padahal, situasi saat ini masih ada prioritas yang harus diperbaiki dan membutuhkan anggaran Negara. Menurut data Kemendikbud 13 Maret 2015 : ada sejumlah 149.552 Ruang Kelas SD dan SMP Rusak. Jika diasumsikan untuk perbaikan, setiap ruang kelas membutuhkan Rp.100 juta, maka total dana dibutuhkan Rp. 149,5 Miliar.
FITRA menghimbau pada pemerintahan Jokowi JK untuk membatalkan alokasi uang DP Mobil dan anggaran revolusi mental dengan menyeimbangkan antara keuangan pusat dan daerah. “Jangan bunuh pemerintah daerah dengan memotong DBH SDA dan segera lunasi”. Ungkap Apung
Apung juga berharap pemerintah memenuhi janji efisiensi mengelola anggaran dan mewujudkan politik anggaran yang berpihak kepada rakyat. “daripada untuk DP Mobil Pejabat, lebih baik untuk bangun ruang kelas sekolah yang rusak. Selain itu Jokowi- JK juga harus meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat, terutama pemilihnya karena mengingkari janji nawacita/ Redaksi FITRA
Jakarta 6 April 2015