Jakarta, 9 Agustus 2019
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Fitra menyoroti peran Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat menyusul ditangkapnya I Nyoman Dhamantra terkait dugaan kasus suap izin impor bawang putih. Menurut peneliti Fitra Wasanti, Komisi VI yang mengurusi bidang perdagangan ini memang memiliki potensi kerawanan rasuah yang cukup tinggi.
“Karena sektor pangan ini banyak melibatkan lintas stakeholder seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bulog, di mana setiap kementerian memiliki ego sektoral yang cukup tinggi,” kata Wasanti melalui keterangan tertulis, Jumat, 9 Agustus 2019.
Anggota Komisi VI DPR Nyoman Dhamantra sebelumnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan asal Bali ini dibawa ke markas KPK di tengah berlangsungnya kongres partai di Denpasar, kemarin.
Nyoman kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. KPK menduga dia menerima suap terkait kuota impor bawang putih sebanyak 20 ribu ton pada tahun 2019. Dia ditengarai meminta fee sebenar Rp 1.700-Rp 1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor.
Wasanti mengatakan penangkapan anggota Komisi VI DPR lantaran dugaan rasuah juga bukan pertama kali ini. Sebelum Nyoman, anggota Komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso juga dicocok KPK karena dugaan suap pengangkutan pupuk dan gratifikasi.
Potensi kerawanan kerja Komisi VI DPR dinilai tak terlepas dari tidak sinkronnya data antara kementerian dan lembaga yang menjadi mitra. Jika bicara data yang akan diimpor, kata Wasanti, data dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian kerap tidak sinkron.
Wasanti mencontohkan, persoalan data kebutuhan impor ini pernah ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan. Berdasarkan data, konsumsi beras mencapai 45,2 juta ton dengan produksi 44,1 juta ton (selisih 1,1 juta ton). Namun pemerintah menerbitkan alokasi impor 1,5 juta ton, atau selisih 0,4 juta ton dari kebutuhan 1,1 juta ton.
Fitra menyampaikan sejumlah catatan yang dianggap menyebabkan keberulangan korupsi di sektor pangan ini. Pertama, data yang tidak akurat menjadi celah korupsi melalui permainan penentuan kuota. Kemudian, belum adanya Lembaga Pangan Nasional seperti yang diamanatkan Undang-undang, serta penegakan hukum dalam pemberantasan mafia pangan yang belum terintegrasi dalam sistem peradilan pidana terpadu.
Wasanti mengatakan, perlu juga ada tindakan tegas terhadap pejabat sektor pangan yang tak patuh terkait Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara. Dia juga mendorong transparansi pengadaan kuota, misalnya melalui aplikasi khusus. “Dan terakhir lagi langkah-langkah represif yang tegas sehingga menimbulkan efek jera,” kata Wasanti.