Skip to main content

Memasuki bulan ke delapan bencana nasional non-alam berupa pandemi corona virus desease (Covid-19), jumlah masyarakat di Indonesia yang terpapar tak kunjung menurun. Prediksi bahwa kurva penyebaran Covid-19 akan mencapai puncak pada Agustus 2020 dan melandai pada bulan-bulan setelahnya nampaknya meleset. Yang terjadi justru sebaliknya, Covid-19 telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia dengan rata-rata lebih dari 4.000 orang tertular setiap harinya. Hingga minggu terakhir September 2020, Covid-19 di Indonesia mencapai 262.022 kasus, terdiri dari 60.064 (22,92%) kasus aktif, 191.853 (73,22%) kasus sembuh, dan 10.105 (3,86%) kasus meninggal. Tentu ini memprihatinkan. Pemerintah seakan ‘mati kutu’ dalam melakukan pencegahan dan penanganan penyebaran Covid-19.

Peningkatan kasus secara kumulatif per 50.000 kasus juga semakin cepat. Hal tersebut terlihat dari jumlah hari yang dibutuhkan semakin sedikit untuk mencapai kasus kelipatan 50.000 kasus. Pada kasus kumulatif 50.000 pertama membutuhkan waktu selama 115 hari (periode 2 Maret – 25 Juni 2020), pada kasus kumulatif 100.000 kasus dibutuhkan waktu 32 hari (periode 26 Juni – 27 Juli 2020), kemudian pada kasus kumulatif 150.000 kasus dibutuhkan waktu 26 hari (periode 28 Juli – 22 Agustus 2020). Kemudian pada kasus kumulatif 200.000 kasus, dibutuhkanwaktu selama 17 hari (periode 23 Agustus – 08 September 2020), dan pada akumulasi kasus 250.000 membutuhkan waktu kurang dari 2 minggu (periode 09 – 22 September 2020).

Terlebih lagi, salah satu cluster penyebaran yang cukup masif justru di kantor-kantor kementerian/lembaga negara. Kementerian kesehatan serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes menjadi instansi dengan tingkat penyebaran Covid-19 tertinggi, mencapai 302 kasus. Kementerian tertinggi kedua yang terpapar adalah Kementerian Perhubungan dengan jumlah 175 kasus penularan Covid-19.1 Kejadian yang muncul di berbagai daerah bahkan lebih parah. Banyak pejabat daerah yang menyelenggarakan kegiatan publik tanpa menggunakan masker dan mengabaikan protokol kesehatan. Tak heran bila sebagian masyarakat kemudian mulai luntur kepercayaannya kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Bahkan kepada tenaga kesehatan. Berita-berita di media massa memperlihatkan bagaimana masyarakat tidak mempercayai diagnosa atau vonis dokter dan tenaga kesehatan di suatu Rumah Sakit bahwa seseorang telah terpapar Covid-19 dan meninggal dikarenakan Covid-19, sehinga terjadi peristiwa penjemputan paksa pasien Covid-19 di Rumah Sakit, perebutan paksa jenazah yang hendak dimakamkan dengan protokol Covid-19, gerakan masyarakat tanpa masker, dan sebagainya.

Hal ini jelas sangat membahayakan bagi tenaga kesehatan sendiri maupun masyarakat secara luas. Respon pemerintah yang semula terkesan menyepelekan potensi merebaknya pandemi ini yang sangat cepat, kini tidak boleh main-main. Hingga kini, paling tidak sudah lahir 56 kebijakan terkait pencegahan dan penanganan Covid-19, termasuk kebijakan anggaran, baik di tingkat pusat, daerah, maupun desa. Seluruh kebijakan tersebut nyatanya belum mampu menghambat laju penyebaran Covid-19 dan tingkat keterpaparan masyarakat. Pada sisi lain, kebijakan tersebut juga sangat berpengaruh terhadap perubahan tata pemerintahan dan pelayanan publik yang semula pelayanan langsung menjadi pelayanan daring, rapat-rapat virtual, bekerja dari rumah (work from home), pengurangan perjalanan dinas yang signifikan, dan lain sebagainya.