TERAKHIR kali di ujung masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 beserta nota keuangan kepada DPR. Presiden mengatakan, APBN kali ini berbeda karena disusun pada masa pemerintahannya dan dijalankan oleh pemerintahan berikutnya. Presiden juga menyatakan memberikan ruang fiskal yang cukup untuk digunakan oleh presiden terpilih pada APBN Perubahan.
Jika ditelisik secara mendalam, pemerintahan SBY meninggalkan warisan politik anggaran yang berat bagi pemerintahan baru, baik dalam konteks transisi maupun dalam menjalankan pemerintahannya ke depan. Tantangan politik anggaran ini dapat dieksaminasi dari sisi substansi anggaran dan sisi kerangka institusional. Dari sisi substansial anggaran, setidaknya terdapat dua warisan SBY yang akan menjadi tantangan ke depan, yakni keterbatasan ruang fiskal atau ruang gerak pemerintahan baru untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya dan keseimbangan primer yang negatif.
Ruang fiskal dan keseimbangan primer
Tercatat sejak 2009, ruang fiskal APBN berada pada kisaran 30 persen. Terbatasnya ruang fiskal ini diakibatkan semakin membengkaknya belanja wajib atau mengikat, seperti gaji pegawai, subsidi, dan bunga utang.
Keterbatasan ruang fiskal, dalam istilah Wildavky (1974), hanya menjadikan penganggaran sebagai praktik inkrementalis, atau sebagai produk negosiasi politik rutin antar-aktor eksekutif dan legislatif yang bertemu setiap tahun dan memutuskan anggaran berdasarkan anggaran sebelumnya karena ruang fiskal yang terbatas.
Tidak kalah mengkhawatirkan, pemerintahan baru juga akan menghadapi anggaran dengan kondisi keseimbangan primer negatif. Keseimbangan primer negatif dalam anggaran kita mulai terjadi sejak 2012 atau sejak pemerintah menerapkan sistem anggaran baru. Meskipun pemerintah mengklaim rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan, keseimbangan primer yang negatif menunjukkan pendapatan negara tidak lagi mampu menutupi belanja di luar pembayaran bunga utang. Artinya, untuk membayar bunga utang, perlu pokok utang baru.
Sementara dari kerangka institusional, aspek teknis perumusan APBN transisi dan fragmentasi politik juga menjadi persoalan besar pemerintahan ke depan. Dari sisi teknis penyusunan, dengan tidak dilibatkannya Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam penyusunan APBN 2015, hal itu akan sulit untuk mengharapkan pemerintahan baru nanti bisa merealisasikan program-programnya pada 2015.
Kendati terdapat peluang untuk melakukan perubahan APBN, hal ini tak akan banyak mengubah keadaan. Selain karena waktu penyusunan dan pembahasan APBN Perubahan yang relatif lebih singkat, pemerintah baru juga tidak mungkin melakukan perombakan anggaran dan program secara signifikan sejalan dengan programnya.
Penyebabnya, program-program dalam APBN 2015 telah disusun melalui proses panjang dan mengakomodasi program- program berdasarkan aspirasi pemerintah daerah. Dalam keadaan normal, APBN Perubahan hanya mengakomodasi tambahan anggaran untuk program yang telah ditetapkan ataupun pergeseran dan pengurangan. Jarang terdapat kasus APBN Perubahan dapat mengalokasikan program atau kegiatan baru.
Jika pun pemerintah memaksa mengalokasikan program baru, sebagai konsekuensinya, realisasi anggaran menjadi tidak optimal karena keterbatasan waktu realisasi. Terkecuali, pemerintah dapat segera melakukan percepatan perubahan APBN.
Fragmentasi politik
Tantangan Jokowi-JK yang tidak kalah berat adalah fragmentasi parpol, baik dari sisi internal di koalisi pemerintahan maupun eksternal di legislatif sebagai konsekuensi dari sistem pemilu proporsional. Dalam literatur politik ekonomi, tingginya fragmentasi politik pada koalisi pemerintahan berakibat pada tingginya tingkat defisit karena anggota parpol koalisi pemerintahan memiliki motivasi untuk terpilih kembali pada pemilu berikutnya, dengan jalan mengalokasikan anggaran sesuai preferensi basis konstituennya dan pemerintah dihadapkan keterbatasan sumber daya (problem common pool resource) (Parson et al 2007).
Dalam hal ini, Jokowi-JK diuntungkan karena didukung lebih sedikit parpol dan berkomitmen untuk mengurangi unsur parpol dalam kabinet yang akan disusunnya. Maka, jika Jokowi-JK mampu mengapitalisasi dukungan rakyat untuk mengeliminasi kepentingan politik praktis anggota koalisi, sangat mungkin fragmentasi anggaran dapat dihindari.
Pasalnya, hal ini tidak mudah diredam pada tingkat legislatif mengingat karena partai-partai nonpemerintahan akan menguasai kursi lebih banyak pada legislatif periode mendatang, kecuali ada perubahan peta kekuatan koalisi di DPR. Tak ayal, pembahasan anggaran legislatif menjadi arena politik terpanas kedua setelah pemilu. Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi-JK, jika memerintah, akan terus tersandera untuk melakukan negosiasi dengan partai-partai nonpemerintah dalam membagi-bagi kue anggaran.
Terlebih lagi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru disahkan melegalisasi praktik pork barrel (gentong babi—yakni praktik terkait perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya, dan bukan untuk kepentingan rakyat yang diwakili) dalam anggaran. Pasal 80 huruf j UU ini menyatakan, salah satu hak anggota DPR adalah untuk mengusulkan program pembangunan daerah pemilihannya, dan Pasal 110 huruf e, yang menegaskan salah satu tugas Badan Anggaran adalah melakukan sinkronisasi usulan program daerah pemilihan.
Tidak akan mengherankan jika partai-partai nonpemerintah ini tidak tergoda bergabung dalam pemerintahan Jokowi-JK dan terus melakukan penyanderaan karena memiliki sumber daya ”gentong babi” untuk merawat konstituennya.
Konsekuensinya, legalisasi dana aspirasi ini, selain akan menggerus ruang fiskal untuk merealisasikan program pemerintah, juga akan merusak sistem dana perimbangan dan dana desa yang baru saja diterapkan. Tak ayal, kesenjangan fiskal antardaerah ataupun desa akan kian melebar dan kebijakan anggaran tidak efektif karena terfragmentasi.
Perbaikan kerangka dan kelembagaan anggaran
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 tentang MD3 merupakan peluang yang baik bagi Jokowi untuk memperbaiki kerangka hukum dan kelembagaan anggaran saat ini dalam menjinakkan syahwat kepentingan politik pragmatis. Putusan MK itu sebenarnya mempertegas peran DPR dalam membahas anggaran. Dalam konteks usulan program daerah pemilihan, secara konstitusional MK mendasarkan keputusannya pada pertimbangan bahwa DPR telah terlalu jauh memasuki kewenangan eksekutif. Dengan demikian, usulan program daerah pemilihan pun telah melampaui kewenangan legislatif.
Pemerintahan Jokowi-JK sepatutnya segera mengagendakan perubahan UU Keuangan Negara untuk mendesain kerangka kelembagaan penganggaran yang dapat mengeliminasi parpol dan membatasi kewenangan mengubah anggaran serta menciptakan ruang insentif bagi partai-partai politik pemerintah dan nonpemerintah untuk menangkal usulan program-program pragmatis (Martin & Vanberg, 2013). Tak kalah penting, sepanjang Jokowi tidak amnesia atas dukungan rakyat yang mengantarkannya ke kursi presiden, maka mengapitalisasi dukungan rakyat untuk merevolusi tradisi transaksional politik anggaran merupakan keniscayaan untuk mewujudkan sebesar-besarnya anggaran guna kemakmuran rakyat. ●
Yuna Farhan ; Mahasiswa PhD University of Sydney
|
KOMPAS, 19 Agustus 2014