Skip to main content

Jakarta, 2 Mei 2020

LUKMANUL Hakim kelimpungan. Menerima instruksi agar menggunakan 30 persen dari alokasi dana desa untuk penanganan dampak Covid-19, Kepala Desa Bantarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu seketika dibuat pusing oleh daftar penduduk desanya yang berhak menerima bantuan. Jumlah penerima tidak sebanding dengan jatah dana, kata Lukmanul kepada Tempo, Rabu, 29 April lalu.

Santunan ini bernama bantuan langsung tunai dana desa (BLTD). Digawangi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, jaring pengaman sosial baru ini menyasar 11 juta keluarga penerima manfaat. Total anggarannya Rp 22,4 triliun, yang disisihkan dari total alokasi dana desa 2020 sebesar Rp 71,19 triliun. Besaran dana yang disisipkan tiap desa berbeda-beda, berkisar 25-35 persen, tergantung jumlah dana desa yang diterima tahun ini.

Desa Bantarsari yang dipimpin Lukmanul masuk kluster pemangkasan dana sebesar 30 persen untuk dialihkan menjadi BLTD. Ini merupakan kluster desa dengan jatah dana desa di kisaran Rp 800 juta-1,2 miliar. Target penerima BLTD adalah warga yang terkena dampak Covid-19 di desa setempat yang belum kebagian bantuan lain dari pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, dan Kartu Prakerja. Bantuan disetor setiap bulan senilai Rp 600 ribu per keluarga selama April-Juni 2020.

Masalahnya, Lukmanul praktis hanya bisa menyalurkan bantuan kepada 156 keluarga. Padahal, dalam daftar yang ia pegang, jumlah keluarga yang berhak menerima BLTD mencapai 1.940.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia Kabupaten Bogor Tini Prihartini menyebutkan rata-rata tiap desa bisa mengajukan 2.000-3.000-an keluarga penerima bantuan langsung tunai desa. Namun yang terealisasi hanya ratusan. Kondisi ini bisa memantik kecemburuan antarwarga.

Bersama sejumlah kepala desa, Tini mengajukan usul kepada Bupati Bogor Ade Yasin agar nilai bantuan langsung tunai desa dibagi lagi supaya lebih banyak warga terbantu. Inginnya bisa dibagi dua atau tiga agar bantuan merata, tutur Tini, Kamis, 30 April lalu.

Keinginan para kepala desa itu juga sempat disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Emil panggilan Ridwan membenarkan. Menurut dia, para kepala desa ingin BLTD diberikan dalam bentuk kuota saja. Lalu dikelola dengan kearifan lokal agar mereka bisa mengatur secara adil, kata Emil kepada Tempo Kamis, 30 April lalu.

KETENTUAN mekanisme pendataan hingga pelaksanaan pemberian bantuan langsung tunai dana desa tercantum dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 6 Tahun 2020 yang diterbitkan 14 April lalu. Peraturan anyar tersebut mengubah Peraturan Menteri Desa Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2020. Pasal 8A dalam aturan anyar itu menetapkan beberapa syarat penerima bantuan, seperti keluarga yang kehilangan mata pencarian atau pekerjaan, belum terdata menerima berbagai bantuan sosial, serta mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun atau kronis.

Sebelumnya, Menteri Desa Abdul Halim Iskandar juga menerbitkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa. Dalam peraturan tersebut, alokasi bantuan langsung tunai untuk pagu dana desa yang kurang dari Rp 800 juta ditetapkan 25 persen dari dana desa. Alokasi untuk desa dengan pagu Rp 800 juta-1,2 miliar sebesar 30 persen. Adapun desa dengan pagu di atas Rp 1,2 miliar mendapat alokasi 35 persen. Skema ini bisa dikembangkan lebih dari 35 persen apabila dibutuhkan dengan persetujuan pemerintah di daerah.

Halim menyebutkan tak ada batas minimal karena sangat mungkin ada desa yang tak membutuhkan bantuan langsung tunai desa. Nilai bantuan Rp 600 ribu per bulan untuk tiap keluarga, dia menjelaskan, sudah dipertimbangkan di Istana bersama pakar ekonomi.

Meski bantuan telah diatur rigid, pendataan di banyak daerah tak mulus. Perangkat desa bingung dengan adanya informasi yang simpang-siur dan ketentuan yang berubah-ubah. Salah satunya di Desa Karanggintung, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Relawan yang mendata warga calon penerima BLTD sempat berpatokan pada 14 kriteria penilaian keluarga miskin yang ditetapkan Badan Pusat Statistik.

Kondisi itu, menurut salah satu kepala dusun di Desa Karanggintung, Hilmy Nugraha, membuat pendataan tak optimal. Sebab, saat ini sulit menemukan keluarga dengan kondisi rumah berlantai tanah, berdinding bambu, dan menggunakan bahan bakar kayu seperti tertera dalam kriteria tersebut. Yang memenuhi itu hampir tidak ada, ucap Hilmy. Belakangan, Kementerian Desa baru menegaskan bahwa 14 kriteria itu tak perlu dijadikan patokan.

Di Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pendataan dilakukan berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bantul. Data tersebut, menurut Sekretaris Desa Sidomulyo Amiruddin Shafa, juga disesuaikan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan tak berpatokan pada 14 kriteria masyarakat miskin. Di lapangan, pihak desa memverifikasi warga yang bisa masuk daftar penerima BLT desa, ujar Shafa.

Namun hal teknis pencairan bantuan langsung desa ini justru bermasalah. Aturan bahwa bantuan harus ditransfer ke rekening bank alias nontunai menjadi biangnya. Sebab, banyak warga di kampung tak punya rekening bank. Apalagi kelompok lanjut usia.

Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia Sukabumi, Tutang Setiawan, menyebutkan skema penyaluran BLTD ini membingungkan. Beberapa informasi yang diterima para kepala desa berbeda-beda. Aturan penyaluran bantuan melalui rekening bank, misalnya, bertabrakan dengan kabar lain yang ia peroleh bahwa bantuan bisa disalurkan dengan pembayaran tunai. Instruksi dari kementerian selalu terburu-buru, tutur Tutang, Kamis, 30 April lalu.

SEKRETARIS Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbah Hasan menuturkan, data penerima bantuan langsung tunai dana desa yang tak tepat bisa menjadi salah satu pintu masuk terjadinya penyimpangan. Untuk mencegah penyaluran bantuan tak tepat sasaran, dia mendesak pemerintah, terutama Kementerian Desa, memvalidasi dan memperbarui data di lapangan. “Persoalan data ini, akan ada yang merasa lebih layak dapat bantuan ketimbang yang dapat” ujar Misbah.

Dalam wawancara dengan Tempo, Selasa, 28 April lalu, Menteri Abdul Halim Iskandar menyebutkan pendataan penerima BLTD memakai referensi utama DTKS yang sudah dipadankan dengan nomor induk kependudukan. Dia mengakui DTKS yang ada saat ini memerlukan banyak penyesuaian. Karena itu, pendataan yang dilakukan relawan penanganan Covid-19 di desa merupakan salah satu langkah pembaruan data untuk dilaporkan ke pusat. “Kami tahu persis ini akan terjadi” tutur Halim.

Peneliti Institute for Research and Empowerment, Dina Mariana, tak kaget jika banyak kepala desa kebingungan mengelola data dan menyalurkan BLTD. Sebab, dalam catatan lembaganya, banyak kabupaten yang belum mengeluarkan petunjuk operasional dan aturan teknis.

Dina menyayangkan pemerintah keliru memahami Undang-Undang Desa, yang menganut asas rekognisi dan subsidiaritas. Dana desa, kata dia, tidak dimaknai sebagai hak desa. “Perencanaan dan pengelolaannya semestinya berbasis kewenangan desa” ucapnya. Lahirnya sejumlah surat edaran serta peraturan Menteri Desa belakangan ini, menurut Dina, merupakan bentuk kooptasi pemerintah pusat yang masih sangat kuat terhadap desa.

Menanggapi hal itu, Halim menuturkan, dalam penyaluran bantuan langsung tunai desa, pemerintah pusat hanya memberikan garis besar supaya pembangunan di desa selaras dengan strategi pembangunan nasional. “Prosesnya tetap berbasis kewenangan desa melalui musyawarah desa”

Sumber: Majalah Tempo 2 Mei 2020 https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/160366/simpang-siur-bantuan-langsung-tunai-dana-desa

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.