Skip to main content

 Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran yang mencakup 48 kementerian dengan 109 menteri dan wakil menteri dikhawatirkan akan membuat bengkak anggaran untuk belanja pegawai. Imbasnya, berkurangnya anggaran untuk kebutuhan masyarakat. Memang, seberapa besar pembengkakan anggaran berpotensi terjadi? Untuk apa saja?

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengatakan, jumlah kementerian di era Prabowo-Gibran sangat ”gemuk”. Kabinet Merah Putih memiliki 48 kementerian, terdiri dari 7 kementerian koordinator dan 41 kementerian teknis. Jumlah menteri dan wakilnya pun membengkak sehingga total berjumlah 109 orang. Hal tersebut jelas mempunyai konsekuensi.

Konsekuensi pertama yang harus diantisipasi adalah persoalan koordinasi dan sinkronisasi program antarkementerian yang berpotensi semakin rumit. Padahal, satu program prioritas nasional biasanya tidak hanya diampu oleh satu kementerian, tetapi juga dikeroyok oleh banyak kementerian.

”Nah, ritme kerja antarkementerian sering tidak sama. Ini yang akan menghambat percepatan bila ada kementerian yang berkinerja lemot,” kata Misbah, saat dihubungi, Senin (21/10/2024).

Oleh karena itu, menteri koordinator (menko) memegang peranan kunci. Apabila kinerja menko tidak cukup kuat, banyaknya kementerian tersebut menjadi kontraproduktif. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari kerja 100 hari pertama atau satu tahun pemerintahan Prabowo.

Anggaran membengkak

Gemuknya kabinet pemerintahan Prabowo juga bisa berdampak pada pembengkakan anggaran operasional, khususnya belanja pegawai pemerintah pusat. Misbah memperkirakan terjadi peningkatan belanja pegawai 20 persen hingga 30 persen.

”Dengan banyaknya jumlah kementerian akan menambah jumlah posisi eselon 1, 2, dan seterusnya. Ini akan membengkakkan belanja pegawai dan belanja barang/jasa, termasuk tunjangan pegawai, belanja perjalanan dinas, makan minum, dan seterusnya,” kata Misbah.

Seperti diketahui, sejumlah kementerian di Kabinet Merah Putih merupakan pecahan dari kementerian lama. Misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dipecah menjadi dua kementerian. Kemudian, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dipecah menjadi tiga kementerian. Hal itu berarti akan ada promosi jabatan pada level eselon 3 menjadi eselon 2, kemudian eselon 2 menjadi eselon 1. Hal-hal semacam ini akan memengaruhi penambahan anggaran belanja pegawai.

Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, estimasi belanja pegawai ditetapkan Rp 513,2 triliun atau setara dengan 19,1 persen, sedangkan belanja barang Rp 342,6 triliun atau setara dengan 12,7 persen dari total belanja pemerintah pusat.

Menurut Misbah, belanja pegawai tersebut akan membengkak 20 persen hingga 30 persen karena data tersebut menggunakan asumsi awal masih 34 kementerian.

”Hal tersebut saya khawatirkan akan memengaruhi komposisi belanja yang diperuntukkan bagi masyarakat, misalnya belanja subsidi, belanja perlindungan sosial, dan lain-lain,” lanjut Misbah.

Sementara itu, Dewan Pengarah Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengurai lebih detail dampak penambahan menteri dan wakil menteri terhadap belanja operasional rutin di kementerian. Menteri dan wakil menteri memperoleh gaji, tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan kesehatan, dan lainnya. Belum lagi fasilitas yang harus disediakan, seperti sopir, ajudan, rumah dinas, dan kendaraan dinas.

Apabila mengacu pada standar gaji menteri keuangan yang tunjangan kinerjanya sudah mencapai 100 persen, pendapatan yang diperoleh tiap bulan mencapai Rp 150 juta hingga Rp 200 juta. Sementara wakil menteri memperoleh Rp 80 juta hingga Rp 100 juta atau bahkan Rp 150 juta, tergantung dari keputusan presiden saat menetapkan besaran tunjangan kinerja di tiap kementerian dan lembaga.

”Jumlah menteri (dan pejabat setingkat menteri) bertambah dari 34 menjadi 53, wakil menteri dari 17 menjadi 56. Total sebelumnya 51, kalau sekarang 109. Berarti, ada kenaikan sekitar 114 persen. Kalau bicara besaran anggaran, tentu dia naik 114 persen,” tutur Roy.

Ia bahkan sudah menghitung besaran anggaran untuk membayar take home pay (THP) menteri yang mencapai Rp 137,8 miliar per tahun. Sementara anggaran untuk membayar THP wakil menenteri berkisar Rp 70 miliar hingga Rp 80 miliar.

”Itu baru yang disebut sebagai gaji, tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan perumahan, dan tunjangan kesehatan. Nah, itu belum untuk fasilitas karena menteri ini, kan, mempunyai fasilitas seperti kendaraan dinas, sopir, pengawal, fasilitas kantor. Pasti ada, kan, anggaran untuk renovasi atau pembangunan kantor baru, lalu menggaji staf (pendukung seperti staf ahli),” ujarnya.

Ia pun memperkirakan biaya yang dikeluarkan untuk gaji dan fasilitas menteri/wakil menteri mencapai Rp 400 miliar hingga Rp 500 miliar dalam setahun atau kurang lebih Rp 2 triliun dalam lima tahun.

Roy juga menyoroti 13 kementerian baru yang harus membuat nomenklatur dan struktur yang baru. Ke-13 kementerian tersebut merupakan pecahan dari kementerian-kementerian yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dipecah menjadi tiga kementerian, yaitu Kementerian Hukum, Kementerian HAM, serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.

Begitu pula dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman yang dipecah menjadi tiga kementerian koordinator baru, yaitu Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat, dan Menko Bidang Pangan.

”Tentu akan membutuhkan juga staf ahli baru, kantor baru. Kalau staf fungsional akan diambil dari kementerian induk,” ucapnya.

Menurut dia, seharusnya kementerian tidak perlu dimekarkan, tetapi sebaliknya justru mengoptimalkan struktur kementerian dan menambah fungsi-fungsinya. Dengan kata lain, yang perlu diperbesar seharusnya fungsionalnya, artinya tidak masalah jika wakil menteri ditambah, tetapi jumlah menterinya berkurang.

Ia khawatir, dengan jumlah kementerian yang gemuk, kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran justru menjadi kurang efektif dan efisien. Selain karena persoalan koordinasi yang semakin rumit dan birokrasi yang kian panjang, penambahan jumlah kementerian juga menambah kadar ego sektoral tiap bidang yang justru menjadi kontraproduktif dalam pelaksanaan program-program pemerintah.

Bukan kabinet zaken

Sementara itu, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menilai, ada dua sisi untuk melihat komposisi Kabinet Merah Putih yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Minggu (20/10/2024) malam.

Sisi positif dari susunan kabinet tersebut adalah tetap ada orang-orang profesional berkapasitas dan berintegritas, yang beberapa orang di antaranya berasal dari kalangan perguruan tinggi. Selain itu, kabinet mencerminkan bahwa Prabowo tetap mengingat jasa koalisi dan orang-orang yang telah membantunya selama ini.

Meskipun demikian, ada sisi buruk yang muncul dari penyusunan kabinet yang dilakukan. Denny mencatat setidaknya empat hal, yakni Kabinet Merah Putih yang beranggotakan 109 orang, baik menteri maupun wakil menteri, menjadi kabinet yang terlalu gemuk atau obesitas. Ditinjau dari segi anggaran, hal itu berisiko pada pemborosan yang tinggi serta potensi miskoordinasi yang juga meninggi.

”Akhirnya inefisiensi, dan kalau tidak hati-hati, makin maraknya korupsi,” ungkap Denny.

Selain itu, kabinet itu kurang layak disebut kabinet zaken mengingat lebih mencerminkan kepentingan akomodatif berdasarkan faktor dukungan politik dan afiliasi dibandingkan faktor kompetensi dan integritas.

Selain itu, Denny menengarai, ada beberapa menteri dan wakil menteri yang terindikasi kuat bermasalah secara hukum, khususnya permasalahan korupsi. ”Tidak sedikit pengaruh/titipan bohir, pemodal/pebisnis yang menyebabkan menteri/wamen demikian akan punya benturan kepentingan bisnis dengan sang bohir, dan tidak bekerja untuk kepentingan presiden ataupun publik,” katanya.]

Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/10/21/seberapa-besar-potensi-pembengkakan-anggaran-karena-gemuknya-kabinet-prabowo