Jakarta, 21 Oktober 2021 – Akumulasi utang yang besar terus menghantui pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Nilainya bahkan dipandang semakin mengkhawatirkan memasuki periode kedua kepemimpinan pasangan tersebut. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, mengatakan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto PDB sudah menembus 40,49 persen tidak jauh dari batas maksimal 60 persen terhadap PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.
Pengelolaan fiskal sudah lampu merah, pemerintah harus mengerem pengembangan infrastruktur yang tidak produktif, apalagi yang dibiayai utang, katanya kepada Tempo, kemarin.
Menurut dia, beban bunga utang yang kian naik juga harus diwaspadai. Rasio bunga utang terhadap pendapatan negara sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2020 mencapai 19,1 persen. Selanjutnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021, angkanya mencapai 21,1 persen. Rasio ini melampaui rekomendasi International Debt Relief sebesar 4,6-6,8 persen ataupun standar Dana Moneter Internasional (IMF) sekitar 7-10 persen.
Hal yang disayangkan, menurut Misbah, adalah fakta bahwa utang besar pemerintah belum efektif menopang pertumbuhan dunia usaha. Padahal justru dunia usaha domestik yang paling potensial mengurangi utang, melalui penerimaan pajak (dari pelaku usaha), katanya.
Mayoritas kegiatan usaha domestik, dia melanjutkan, masih ditopang akumulasi modal sendiri dan investasi asing. Penyebabnya adalah tingkat suku bunga pinjaman bank yang tinggi. Data Bank Dunia 2020 yang dihimpun Fitra menyebutkan, porsi domestic credit to private sector di Indonesia tercatat hanya 37,8 persen terhadap PDB 2019 jauh di bawah Thailand yang sebesar 143,5 persen atau Singapura yang 120,8 persen.
Domestic credit to private sector adalah rasio kredit yang diberikan lembaga keuangan kepada perusahaan swasta terhadap PDB. Kemunculan bisnis baru di Indonesia juga relatif lamban, bahkan sebelum pandemi, katanya. Tingkat kepadatan pelaku usaha hanya 0,3 point. Artinya, dari setiap 10 ribu penduduk, hanya 3 unit bisnis baru yang terdaftar. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia, Mohammad Faisal, khawatir utang pemerintah dan swasta memicu kerentanan fiskal. Kualitas belanja harus dijaga agar tak bocor ke aspek non-prioritas, apalagi yang di luar keperluan pemulihan ekonomi nasional, ucapnya.
Meski tak tercatat sebagai utang pemerintah dan Bank Indonesia, dia menyebut pinjaman luar negeri yang masuk ke proyek-proyek infrastruktur melalui BUMN harus diwaspadai. Sebab, bila proyek konstruksi macet, pengelola akan kesulitan membayar tagihan ke bank kreditor. Risiko itu bisa menjalar dan akhirnya menjadi beban pemerintah.
Seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang akhirnya didanai APBN, padahal awalnya proyek bisnis ke bisnis. Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies sebelumnya memprediksi jumlah utang pemerintah di akhir periode kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pada Oktober 2024 akan melonjak menjadi Rp 9.800 triliun.
Pada Maret 2020, jumlah utang pemerintah tercatat sebesar Rp 5.000 triliun. Berikutnya, demi menggenjot berbagai stimulus di masa pembatasan mobilitas, angka utang pemerintah meloncat menjadi Rp 6.500 triliun per Juni 2021. Selama satu setengah tahun pandemi, IDEAS mencatat jumlah utang pemerintah bertambah rata-rata Rp 102,2 triliun per bulan.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai eksperimen pembiayaan APBN selama pandemi Covid-19 terlalu ekstrem. Skema berbagi beban anggaran dengan Bank Indonesia melalui pembelian surat utang pemerintah dianggap berisiko tinggi, dan biasanya hanya terjadi di negara maju.
Penerbitan surat utang global dengan tenor hingga 50 tahun yang jatuh tempo hingga 2071 pun dianggap memperberat beban. Bisa menambal defisit, tapi beban utang akan diwariskan hingga 50 tahun mendatang, menjadi utang dengan tenor terpanjang yang pernah ada, ucap dia.
Pada akhir bulan lalu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, memastikan pemerintah selalu mendahulukan sumber pembiayaan non-utang. “Seperti optimalisasi penggunaan sisa anggaran lebih dari tahun sebelumnya,” katanya.
Ia mengklaim, Kementerian Keuangan mengelola portofolio utang melalui upaya konversi pinjaman untuk menekan beban biaya bunga atas pinjaman luar negeri. Kalaupun memburu sumber pembiayaan utang, kata dia, pemerintah menjaga tingkat risikonya.
Anggota Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Eka Pria Anas, mengakui proyek jalan bebas hambatan nyaris tak terhindar dari pinjaman. Meski begitu, risiko utang sudah ditekan sejak masa perencanaan, baik di proyek negara maupun prakarsa swasta.
Tak akan kuat jika hanya dibiayai ekuitas. katanya. Tol di bawah BPJT selalu berada di jalur yang tepat. Yang penting badan usaha sudah menyiasati risiko pinjamannya sejak awal.