Di dalam definisi politik, istilah patrimonial mengacu pada sistem regenerasi yang mengutamakan ikatan genealogis atau pewarisan dengan menunjuk langsung. Di era modern ini, politik patrimonial masuk melalui jalur legal, dimana anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan seperti partai politik atau lembaga publik lainnya.
Politik Patrimonial harus dilarang dengan tegas, karena ia lebih mementingkan kekerabatan ketimbang merit sistem atau prestasi, sehingga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Setelah tidak berkuasa atau habis masa jabatan, sistem patrimonial juga masih bisa menyetir pemerintahan baru karena diisi kelompok yang sama. Jika praktek patrimonial masuk dalam pemilihan pejabat publik seperti Pilkada, Pemilu Legislatif, atau Pilpres, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan. Jika kuasa para patrimonial bertambah besar, maka memiliki kecenderungan berprilaku korup dan melakukan penyalahgunaan wewengan.
Belajar dari mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dimana selama 8 tahun berkuasa, banyak kerabat Ratu Atut memasuki tempat strategis baik di eksekutif atau legislatif. Kepemimpinan Ratu Atut kemudian ditutup oleh catatan gelap ketika ditetapkan tersangka dalam kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak kepada mantan ketua MK dan proses penganggaran pengadaan alat kesehatan Banten.
Pilkada 2018 juga tidak luput dari politik patrimonial atau sering disebut dinasti politik. Seperti kasus yang terjadi di Pilgub Sumatra Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Kalimantan Barat. Sedangkan ditingkat kabupaten/ kota ada di Kota Serang, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Purwakarta.
Salah satu contohnya adalah di Sulawesi Tenggara. Daerah yang kaya akan potensi sumber daya alam (SDA) ini terjerat kasus Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap Asrun, cagub Sultra, yang tampaknya mengubah konstelasi politik daerah. Kuatnya peran ketokohan dalam kultur politik membuat setiap perubahan afiliasi politik elite lokal berdampak pula terhadap pergeseran dinamika politik di Sultra. Setidaknya, 11 dari 45 anggota DPRD Provinsi Sultra hasil Pemilu 2014 adalah keluarga pejabat daerah. Pada Pilkada 2015 dan 2017 banyak kepala daerah terpilih ialah keluarga politisi lokal. Dari temuan tersebut FITRA merekomendasikan bahwa:
1. Meminta KPU/ BAWASLU untuk profesional dan netral sebagai lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu, jangan sampai dijadikan alat kepentingan oleh kelompok patrimonial.
2. Meminta KPK untuk melakukan pengawasan kepada calon kepala daerah yang berasal dari patrimonial, karena berpotensi melakukan korupsi politik untuk melanggengkan kekuasaan.
3. Meminta Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan kepada calon kepala daerah yang berasal dari patrimonial politik karena kelompok tersebut bisa menghambat agenda demokrasi.*
Ikut serta pantau anggaran dengan follow @seknasfitra